Rabu, 23 Oktober 2019

Belajar Memiliki Hati yang Besar


"Butuh hati yang besar sekali, untuk
Meminta maaf kepada yang melukai,
Memulai bicara kepada yang memusuhi,
Mendekat kepada yang sudah menjauh,
Mengalah kepada yang merasa tau segala,
Melunak kepada yang keras kepala,
Menjadi biasa saja kepada yang sudah mematahkan rasa."
(Marchella FP dalam bukunya "NKCTHI")
Memang benar, musuh terbesar adalah diri sendiri, yang tersulit adalah menang melawan ego sendiri. Terkadang kita selalu merasa benar, tanpa mencoba memandang dari sisi yang berlawan. Kita lupa, bahwa tidak hanya kita yang ingin dimengerti, tapi orang lain juga. Semua sama-sama ingin dimengerti, lalu muncullah rasa marah, menyulut pertengkaran, semua sama-sama merasa menjadi pihak yang dirugikan atau pihak yang dizolimi, lalu memutuskan untuk diam seribu bahasa, bertemu dalam hening tanpa kata-kata, sampai salah satunya mencoba menurunkan ego dan berdamai dengan keadaan. Tapi coba bayangkan jika tak ada satupun yang mau mengalah, tetap merasa diri yang paling benar lalu enggan meminta maaf, gengsi untuk menyapa duluan, maka diam akan tetap menjadi solusi atas masalah yang tak kunjung selesai. 

Memang benar, susah sekali untuk menurunkan ego, namanya manusia, semua punya ego masing-masing yang tak bisa teredamkan. Menjadi yang duluan memulai, sungguh butuh hati yang ekstra besar. Mulut terasa kaku, dalam hati selalu terlintas, kenapa bukan dia duluan yang meminta maaf? kenapa bukan dia duluan yang memulai berbicara, kenapa harus selalu aku yang mengalah? kenapa harus aku yang berkorban? Kenapa kita tidak bertanya kepada diri kita sendiri? mengapa harus menunggu jika bisa kita dahulu yang memulai? mengapa atas semua yang kita lakukan kita mengharapkan balasan untuk perlakuan yang sama seperti yang kita beri? Padahal jelas Allah akan memberi balasan yang jauh lebih besar daripada balasan yang diberikan orang lain?

Siapa dia? dia yang seperti itu?
Itu aku,
aku salah satunya,

Aku pernah merasa lelah mendekat untuk seseorang yang terus-menerus menjauh.
Aku pernah merasa lelah mengalah untuk seseorang yang terus menerus menginjak.
Aku pernah merasa lelah meminta maaf untuk seseorang yang terus-menerus merasa tidak bersalah.
Aku pernah merasa lelah memaafkan seseorang yang terus menerus melakukan kesalahan yang sama.
Aku pernah merasa lelah berkorban untuk seseorang tak paham arti pengorbanan.
Aku pernah merasa lelah untuk memahami seseorang yang tak pernah berbalik memahami.
Lalu aku mengeluh,
Mengapa harus aku terus?
Mengapa harus aku lagi aku lagi?
Mengapa harus aku yang melakukan?
Aku lelah, sudah kehabisan tenaga untuk marah
dan kemudian hanya diam dengan hati yang carut marut.

Bahkan hingga kemarin
aku masih menyimpan perasaan dengan pertanyaan yang demikian dalam hati ini.
Mengapa aku yang selalu dikorbankan,
Mengapa aku yang harus selalu berusaha memahami,
Mengapa aku begitu mudah diabaikan, dilupakan, dan diinjak-injak.
Hati masih terus marah dan tak menerima segala kenyataan. 
Ego ini terlalu tinggi untuk mencari titik kesabaran.

Tapi Allah,
Engkau sungguh berbaik hati menyadarkanku.
Hari ini entah berapa kali Kau tampar aku melalui beberapa kejadian dan tulisan-tulisan yang begitu menyentuh hati.
Menyadarkan bahwa, surga adalah tempat bagi hati yang ikhlas, sabar dan selalu bersyukur.
Semua memang sulit, makanya balasannya pahala yang besar.

Hati ini masih terlalu sombong, bahkan hanya untuk sekadar mengucapkan maaf maupun memaafkan
Hati ini masih terlalu tinggi, bahkan hanya untuk sekadar mengalah dan melunak.
Padahal yang Allah butuhkan adalah hati yang besar dan lapang, agar selalu bisa Allah sirami dengan kebaikan dan hidayah yang tak terkira.

Jadi, hari ini.
bismillah, pelan-pelan kita belajar ya.
Aku, kamu, kita semua yang membaca ini.
Semoga diberikan hati yang besar untuk terus bersabar.

Sengaja tulisan ini dibuat,
sebagai pengingat jika kelak hati ini mulai tak baik lagi.