Rabu, 05 Agustus 2020

Kelabu



Aku dan kamu adalah air yang mengalir
Berjalan lurus mengikuti arus
Lalu berliku menuju muara tanpa nama
Dekat tapi tidak terikat

Aku adalah duniaku dan kamu adalah duniamu
Berada pada lingkaran yang beririsan
Namun bukan membentuk suatu gabungan

Kita adalah kelabu
Tak pekat meskipun terhubung erat
Langkah kita tersamarkan
Jejak kita tak berbayang

Kitalah dua sisi yang bersama
namun memiliki sisi lain yang harus dibagi dengan yang lain
Kita hanyalah potongan, yang belum ditakdirkan semesta untuk menjadi utuh

Sampai kapan?
Sampai takdir genapkan kita dengan partikel sempurna yang melengkapi kita.
Sampai Allah tetapkan takdirNya dengan menyatukan atau memisahkan

Sabtu, 11 Juli 2020

Belajar dari Kegagalan



Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku menemui sebuah kegagalan, tepat sehari sebelum ku menginjak usia 27 tahun. Sejak SD hingga kuliah, perjalanan pendidikanku selalu mulus dan halus tanpa rintangan, mau masuk ini, lulus. Ikut ini, lulus. Aku bahkan tak tahu jika ditanya sebuah kegagalan aku harus menceritakan apa, kecuali kegagalan cinta, eh.
Aku bukannya sombong, itu memang suatu  prestasi, tapi itu tidak selamanya merupakan sesuatu yang spesial, setidaknya menurutku sekarang. Justru hal itu yg membuat diriku secara kesiapan mental belum cukup mampu menerima kegagalan. Terbiasa dalam sesuatu yang nyaman tanpa rintangan membuat kita tidak belajar bersiaga untuk menghadapi sebuah kegagalan.

Hari ini aku bisa dibilang gagal lolos seleksi beasiswa S2, sebenarnya biasa saja bagiku karena masih banyak kesempatan lain yg jauh lebih baik yang menunggu. Dan aku baik-baik saja dengan itu, i'm okay and let's we try again someday. Karena sejujurnya aku juga bisa dibilang belum memiliki persiapan yang matang untuk melanjutkan kuliah, kemarin anggap saja sebagai  batu loncatan agar kupunya pengalaman mendaftar untuk kujadikan patokan untuk mendaftar lagi kedepannya.
Hanya saja yang tak biasa bagiku adalah, yang biasanya kudengar ucapan selamat berbalik menjadi ucapan jangan sedih ya, jangan berkecil hati ya, jangan menyesal ya, atau pandangan berbelas kasihan orang-orang, and i don't like that very much 😅.
Sebenarnya itu adalah hal yang baik, kalimat-kalimat penyemangat yang artinya orang-orang peduli dengan kita. Hanya sajaa aku tak terbiasa mendengarnya dan menghadapinya 😅 maafkan aku, jadinya kepikiran deh sekarang 😢

Karena semua itulah lalu aku menyadari satu hal, oh begini ternyata rasanya gagal lalu kecewa. Kita tidak selalu berada di atas dan menghadapi sebuah prestasi, maka kita juga harus bersiap diri menghadapi sebuah kegagalan. Kata mama, kesuksesan itu lebih terasa berharga nilainya jika kita jalani dengan proses yang tertatih-tatih. Lantas kita akan bersyukur karena kita telah berdiri di puncak dengan perjuangan yang butuh effort besar. Jika kita tidak menemui kegagalan, maka segala yang kita dapatkan tidak akan berbekas dan hilang begitu saja. Dan aku merasakan itu. Khususnya ketika kuliah, yang kujalani dengan setengah hati dan berleha-leha karena jalannya terasa mulus-mulus saja di awal masuk. Dasar aku 😣

Semoga kegagalan ini jadi alarm buatku ya, agar lebih memaknai arti sebuah perjuangan, soalnya kemarin daftar S2 nya ini juga setengah-setengah sih karena galau, jadinya beneran ga dapat kan 😅
Tak apa-apa anis, it's okay. Mari kita coba lagi dengan kesungguhan hati di kemudian hari. Lain kali mungkin niatnya juga perlu diperbaiki 🙃. Oh iya, selamat yang sudah lulus seleksi beasiswa S2, semoga dilancarkan segala galanya. Aamiin.

Btw, hari ini hari terakhir aku berdiri di usia 26 tahun, aku sudah semakin tua tapi tak ada pencapaian berarti yang kulakukan 😣. Semoga besok di usia yang baru banyak pencapaian besar yang bisa diraih ya. Menikah, pindah, sekolah, dan pencapaian2 bermanfaat lainnya. Aamiin. Syemangats aniss!

Selasa, 05 Mei 2020

Menciptakan Rasa Nyaman



Ada sebuah petikan kalimat dari penulis 'Letters to Karel" yaitu Nazrul Anwar yang berbunyi :
"Tidak semua tempat bisa memberi rasa nyaman. Di banyak tempat, kita sendiri yang harus menciptakan rasa nyaman itu."
Awalnya kupikir, dengan kita menerima segalanya dan mengikuti segala aturan alam untuk membuat lingkungan sekitar kita terus bahagia sudah cukup bisa memberikan rasa nyaman. ternyata seiring berjalannya waktu definisi nyaman itu mulai buram di pikiranku, definisi bergeser, dari membuat orang lain bahagia menjadi membuat diriku bahagia. Ternyata, definisi membahagiakan orang tidak ada batas pencapaiannya, tak ada habisnya, alih-alih membahagiakan orang, secara perlahan malah menyakiti diri kita tiap waktunya, padahal orang tersebut tak pernah merasakan perjuangan kita, dan sibuk berasumsi dengan pemikiran mereka sendiri.

Dulu aku tak pernah sibuk memikirkan bagaimana caranya untuk menciptakan rasa nyaman, karena disekelilingku dipenuhi orang-orang yang selalu membuatku nyaman, jikapun tak nyaman aku bisa segera beralih ke tempat lain yang saat itu bisa membuatku nyaman, lingkaranku banyak, dan membuatku tak perlu khawatir merasa tak nyaman. Hal itu juga dikarenakan mereka-mereka yang ada disekelilingku sesungguhnya orang-orang yang tanpa sadar terseleksi oleh alam untuk membersamaiku dari sekian ratus orang yang berhamburan di depan mata. tanpa sadar kita memilih yang sefrekuensi, lalu tumbuh bersama dan membentuk rasa nyaman bersama. Tapi sekarang, kita tidak bisa memilih, kita hanya bisa menjalani, dan belajar untuk memahami orang-orang yang tak sepemikiran dengan kita, yang tak sefrekuensi, yang tak seirama, dan saat itulah pada akhirnya kita harus belajar untuk beradaptasi atas keberagaman yang kadang tak sejalan dengan apa yang kita mau.

Lingkungan yang kujalani, tanpa sadar mengubah sudut pandangku, bahkan mengubah karakterku. Sebegitu besarnya porsi lingkungan dalam membentuk diri kita, dan aku memahami itu sekarang. semoga Allah selalu menempatkan kita dalam lingkungan yang baik dan orang-orang yang baik.
Aku tak pernah mengatakan jika lingkunganku tak baik, justru aku bersyukur diantara sekian tempat, tempatku sekarang sungguh sangat baik, dan dipenuhi dengan orang-orang baik sehingga aku tak pernah merasa kekhawatiran akan diperlakukan secara zalim atau berada dalam posisi buruk. Akan tetapi, seperti yang sebelumnya kukatakan, aku terlalu sering berada dalam lingkaran frekuensi yang sama yang membuatku nyaman, dan itu menyebabkan aku sedikit kesulitan beradaptasi dengan lingkaran yang memiliki frekuensi yang berbeda. Aku yang memang dari awal tercipta dengan insting baper yang cukup tinggi membuatku sering kali menahan sesak di hati, dan menyimpan rasa tak nyaman seorang diri. Aku mencoba bertahan, mencoba memahami, mencoba meredam tiap rasa sesak dan amarah yang seringkali bergejolak, mencoba memikirkan hal apa yang membuat orang-orang tak tersakiti dan membuat mereka senang. Awalnya aku tak sanggup mendengar segala bentuk ocehan dan celetukan yan tak nyaman didengar, dimarahi, dikomplain, dikritik pedas, yang tentu saja membuat aku stres mendengarnya. Semua itu membuatku lemah dan menjadi orang insecure yang cengeng. Seiring berjalannya waktu, aku tau itu tak baik untuk kesehatan mentalku, dan aku mencari suasana segar yang baru agar aku bisa bernafas sejenak dari kebisingan yang menyesakkan ini. And thanks to my beloved tuche yang memberi banyak pencerahan. Dan akhirnya aku tahu permasalahannya, aku tidak membiarkan energi positif ku keluar dan bereksplorasi sehingga akhirnya tertutupi dengan energi negatif yang membuatku stres. Aku yang dulu dipenuhi dengan segudang aktivitas dan menyibukkan diri dengan hal-hal produktif, tenggelam disini dan itu membuatku kehilangan jati diri. Akhirnya aku mengikuti berbagai komunitas yang mungkin akan kujabarkan di tulisan selanjutnya.

Intinya adalah, love yourself first, save yourself first, and create your own happiness first. Seiring berjalannya waktu aku mulai belajar banyak hal, bahwa kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan kita dengan orang lain, kita tidak bisa membahagiakan semua orang, kita tidak bisa terus memikirkan apa kata orang lain. Aku tahu aku sudah sangat sering menyerap energi negatif, yang kubutuhkan adalah mencari energi positif untuk menyeimbanginya. Aku memang belum bisa 100 persen untuk tidak memikirkan hal-hal tersebut, tapi alhamdulillah sudah sedikit berkurang. walaupun pada akhirnya aku menjadi berbeda dari aku yang sebelumnya, tapi demi kesehatan mental, i know i must do this. Memang sulit untuk menciptakan rasa nyaman itu, butuh tenaga ekstra dan kadang melelahkan hati, belajar untuk terbiasa dengan apa pun pemikiran orang dan menjalani apa yang aku mau tanpa harus memikirkan apa yang orang lain pikirkan, itu tidak semudah yang dibayangkan, tapi aku butuh itu agar hatiku tetap baik-baik saja. Karena pada akhirnya, kita ternyata memang harus struggle dan berjuang sendiri dimanapun kita berada.

Semakin dewasa ternyata kita akan semakin paham, bahwa hidup tidak tentang meminta seseorang untuk membuat kita nyaman, hidup tidak tentang menuntut lingkungan untuk memberikan kenyamanan bagi kita. Tapi kita yang harus belajar beradaptasi dengan lingkungan yang tak biasa dan membuatnya menjadi nyaman untuk diri kita. Kita yang harus menciptakan kenyaman itu dengan cara kita sendiri, agar kita tetap waras. Memang tak instan, tapi semoga semakin banyaknya waktu yang dijalani, semakin banyaknya masalah yang dilewati, kita akan semakin paham dan mahir untuk menciptakan rasa nyaman kita sendiri.

Kamis, 02 April 2020

Tentang segala kekhawatiran



Hari ini aku menuliskan segala ketakutanku disini. Ketakutan yang selalu kusembunyikan, tapi ia selalu muncul menghantui. Iya, saat ini kita tidak sedang baik-baik saja, dunia tidak sedang baik-baik saja. Kita seperti hidup di dunia yang sebelumnya tak pernah kita temui.

Rutinitas membelenggu yang sebelumnya kita keluh kesahkan menjadi hal yang sekarang kita rindukan, mengekspresikan cinta bukan lagi dengan cara menghabiskan waktu bersama, tapi dengan cara menjaga jarak.

Awalnya aku biasa saja, namun lama-lama semua mulai menghantui pikiranku, sejak masa karantina ini semakin lama, pertemuan semakin dibatasi, bahkan kita tidak tau bahaya apa yang ada diluar sana, yang kita hadapi adalah makhluk mungil yang tak tampak oleh mata, tak bisa kita hindari dan kita lawan.

Ketakutan terbesarku bukan hanya tentang diriku, tapi tentang orang-orang tersayangku. Tentang mereka yang sekarang tak bisa kujaga selain melalui doa. Mendengar kabar tentang mereka selalu membuat jantungku berdetak seribu kali lebih cepat, dan berharap semua baik-baik saja.

Maafkan aku yang terlalu khawatir, tapi mengendalikan pikiran tentang diri sendiri agar tidak tersugesti ternyata lebih mudah dibanding mengendalikan pikiran untuk tidak khawatir dengan orang lain, mereka yang kusayangi. Apa yang mereka lakukan, apa yang mereka makan, kemana saja mereka pergi, bertemu dengan siapa saja, dan hal-hal diluar kuasa lainnya yang tak bisa kukendalikan dari jarak jauh.

Wahai Allah Dzat Yang Maha Agung, Yang Maha Mengendalikan segalanya. Semua ini atas kehendakMu, semoga segala kekhawatiran ini lekas berlalu.

Semoga kita semua baik-baik saja. Aamiin.

Minggu, 09 Februari 2020

Titik Kadaluarsa






Sudah 4 tahun hidupku dipenuhi dengan kamu. Mulai dari pertama mengetahui namamu, rasa yang berdebar-debar, saling mengenal, jatuh cinta, patah hati, hingga sekarang tak tahu lagi definisi apa yang pantas disematkan untuk kita, bukan, untuk perasaanku lebih tepatnya, karena definisi "kita" belum tercipta hingga sekarang. Kurasa sudah saatnya aku menamatkan cerita ini, setidaknya untuk season ini, karena aku tak tahu apakah mungkin ada season baru untuk cerita kita, ataukah ini adalah cerita plus season terakhir yang membawamu ada di ceritaku. Mungkin benar, kita memang ada di buku yang sama, tapi kita berada di halaman yang berbeda, hingga akhirnya kisah kita tak pernah bertemu meskipun kita bersisian.

Sebelum kututup mari kuceritakan satu kisah tentang kita, kisah yang akan kukenang sebagai simbol bahwa kamu pernah menjadi warna indah yang hadir mewarnai kisah usangku sebelumnya yang berakhir dengan warna kelabu pekat.

Cerita kita berawal dari sebuah hati yang sedang pecah, sedang carut marut dan terluka, dari sebuah hati yang sedang ingin mencoba bangun kembali setelah terperosok jauh di dalam jurang yang sulit ditarik kembali ke permukaan. Sebuah hati yang sedang bersusah payah untuk move on dari rasa sakit yang tak bisa terdeskripsikan.

Cerita kita berawal dari sebuah doa yang kupanjatkan tanpa henti di tiap waktu, doa yang memohon dihadapan-Nya untuk menjatuh cinta kan aku hanya kepada jodohku saja, agar hati ini tak lagi merasakan jatuh yang penuh luka lebam.

Cerita kita berawal dari sebuah hati yang sedang resah karena akan hidup sendiri di tempat asing yang tak pernah terlintas meski hanya sedetik saja di pikiran ini. Sebuah hati yang kecewa karena gagal kembali untuk mengabdi di kampung halaman. Sebuah perasaan sesak yang membawaku pada banyak penyesalan akan banyak hal yang kulalui.

Cerita kita berawal dari percakapan telepon singkat yang akan selalu kuingat. Hati yang berdebar, rasa deg-degan di hari itu, masih bisa kurasakan hingga sekarang, rasa yang belum pernah lagi kurasakan dalam detakan yg sama persis bahkan setelah banyak hal yg kita lewati bersama.

Cerita kita bukan seperti cinta pada pandangan pertama, bukan juga seperti cinta yang tumbuh karena terbiasa bersama, cerita kita tumbuh tiba-tiba saja seperti angin segar yang tiba-tiba datang meniup hatiku, bahkan sebelum kita bertemu, sebelum aku mengenal kamu. Bagaimana bisa? Aku juga tidak tahu, susah kudeskripsikan karena aku juga tak tahu semua bermula darimana. Tiba-tiba saja aku merasa sudah sangat mengenalmu padahal kita jarang berinteraksi. Tak perlu banyak kudeskripsikan, intinya aku sudah jatuh cinta di waktu itu.

Waktu bergulir, ternyata perjalanan menujumu tak semudah yang aku kira. Seminggu pertama ku mengenalmu sayapku pun langsung patah. Pertanda bahwa kedepannya perjalanan ini akan sulit untukku, untuk perasaanku. Ternyata kita bukanlah dua orang yang berada di garis start yang sama, kamu dengan jalanmu yang berbeda dari jalan yang kukira akan kutuju. Kehidupanmu penuh dengan bunga-bunga indah nan menawan yang bisa saja kau petik semaumu jika kamu mau, dan aku tentu saja bukan bagian dari bunga-bunga itu. sulit menembus langkahmu karena aku hanyalah kembang yang baru saja mencoba tumbuh setelah sekian lama layu dan meranggas. 

Tapi mungkin kamu tak tahu bahwa kuikuti langkahmu dari sisi jalan yang lain, mengikuti segala perkembanganmu, melihatmu berproses menjadi kamu yang sekarang jauh lebih baik dari kamu yang dulu. Ternyata begitu panjang perjalananmu wahai tuan, tanpa sadar aku terus berjalan mengikutimu dengan sayap yang hanya tinggal sebelah, dan ternyata sayap itu masih bertahan hingga sekarang meskipun ia sobek berkali-kali dan tak utuh, ia tak patah dan masih menaungiku dalam mengikuti langkahmu. Mengikuti segala langkahmu dari satu semak belukar yang membelenggu ke belukar yang lain. Aku tahu kamu kesusahan, kucoba memangkas ranting apa yang bisa kupangkas untuk sedikit mempermudah jalanmu, agar tak menghambat jalanmu, tapi kamu kadang memilih jalan lain yang malah menyulitkanmu. Kamu tahu wahai tuan, aku hanya ada di sisi jalan yang lain sehingga aku tak bisa menjangkau banyak hal untuk menyelamatkan perjalananmu, aku hanya bisa menjangkau apa yang bisa kujangkau, tapi ternyata itu tak banyak membantumu, maafkan aku. 

Lalu jalan kita semakin dekat, aku senang, ternyata meskipun aku bukan bagian dari bunga-bunga yang indah itu, aku masih bisa menjadi bagian yang menemani perjalananmu. Tapi aku sadar, meskipun kita berjalan beriringan, perjalanan yang sedang kita lewati ini tak boleh melibatkan perasaan, aku menjadi serba salah, haruskah aku kembali berada di jalan yang jauh agar aku masih bisa dengan bebas mencintaimu, atau harus dalam jarak yang dekat ini tapi menggembok paksa rasa yang berbunga-bunga ini. Lalu kamu tahu aku memilih apa? Aku tentu saja memilih keduanya, tapi dengan konsekuensi yang berbeda. Tetap dekat dan bebas mencintai, tapi dengan konsekuensi tak ada harapan apa-apa yang bisa kuuntai di masa depan kita, yang artinya perjalanan kita hanya sebatas merangkai kisah indah hanya di saat itu saja. 

Kamu tahu, di awal semua terasa sulit bagiku, mencintai sesuatu yang tak akan bisa kumiliki nantinya. Apalagi mengetahui bahwa tak hanya aku yang ada di perjalananmu. Tapi kemudian aku menjadi terbiasa dengan segala yang berjalan ini. Aku membiarkan cintaku lepas selepas-lepasnya, mengekspresikan apa yang bisa kuekspresikan selagi aku masih bisa, karena jika kutahanpun, toh dua-duanya berujung sama, sama-sama tak bisa dimiliki, kan? setidaknya aku masih memiliki banyak kenangan indah yang kucetak dan bisa kukenang jika sudah tak lagi bersama. 

Kita banyak menghabiskan waktu bersama, menceritakan banyak hal dari A sampai Z sampai balik lagi ke A, melewati segala kekonyolan bersama, memunculkan segala keabstrakan, menjadi dua orang aneh yang saling menertawakan satu sama lain, sudah tak terhingga segala kejelekanku kau pegang menjadi kunci, mungkin tak ada lagi kelebihan yang tersisa dariku untuk kuunggulkan padamu. Sama, dirimu juga. Kita menjadi dua orang yang berada dalam 1 frekuensi yang sama, sama-sama absurd dan nggak jelasnya. Entahlah apa kamu berpikir demikian, tapi bersamamu aku menjadi orang yang bebas mengekspresikan segalanya tanpa takut untuk menjaga image.

Tapi kamu tahu, semua yang biasa ini, juga membuat perasaanku lama-lama menjadi biasa. Akupun menyadari, debaran ini tak lagi sama seperti dulu, debaran yang dalam bahasa gaulnya "baper" tak pernah lagi kurasakan, apa karena feel yang kamu berikan berbeda, atau karena ku tahu bahwa tidak hanya aku yang kamu perlakukan seperti itu? atau karena perasaan ini telah berubah? Aku juga tidak tahu, apakah perasaan ini sudah mencapai titik kadaluarsa? 

Wahai tuan, sesungguhnya aku bosan mendengar kalimatmu yang selalu takut jika aku suka padamu, atau selalu menyuruhku berhati-hati agar tak jatuh cinta padamu. Karena perasaan itu telah jauh tumbuh dan tertinggal di sana, perasaan itu sudah lama kulewati bahkan sejak sebelum kita bertemu. Kamu tidak perlu takut akan banyak hal yang terjadi sekarang, karena semua kekhawatiranmu sudah kulalui jauh sebelum kita di jalan yang sama. Jika aku jatuh sekarang, bagaimana 4 tahun terakhir bisa kulalui dengan baik? Sekarang perasaan yang mendominasi hanyalah perasaan ingin melindungi, dan aku juga bahkan tak mengerti dengan hatiku sendiri. 

Sekarang telah 4 tahun terlalui, aku sudah sangat terbiasa dengan segala ceritamu, cerita tentang dirimu sendiri, ceritamu dengan yang lain. Dan aku pasrah, tak ada lagi kisah yang kuinginkan tentang kita, biarkan saja ia mengalir sebagaimana mestinya. Karena kisah yang dipaksakan tidak akan berujung baik. Tapi aku masih menjanjikan 1 hal kan? Aku akan melindungimu, maka dari itu kamu tidak boleh sakit, kamu tidak boleh bersedih. Kamu harus kuat, dan biarkan aku melihat kisahmu yang indah nanti.

Ada banyak hal yang tak pernah kusampaikan, bahwa kamu, meskipun tak pernah tahu, kamu sudah berhasil membantuku menghapus luka di masa laluku. Kamu mungkin tidak percaya, tapi segala lukaku dan sedihku, selalu berhasil kulewati dengan kamu di sampingku, meskipun kamu juga menciptakan kesedihan yang baru, tapi aku telah perlahan belajar untuk mengatasinya sendiri dengan segala caraku dan orang-orang terbaik yang membersamaiku hingga sekarang aku terbiasa dan menjadi baik-baik saja.

Satu hal lagi, aku mencintaimu dengan caraku, dengan cara yang tak bisa kamu bandingkan dengan yang lain. Aku tak bisa memberikan banyak hal seperti yang orang lain lakukan, aku tak bisa bersaing dengan mereka karena banyak keterbatasan yang kumiliki, tapi ini cintaku, cinta yang bisa kuberikan dengan caraku yang tak setinggi cinta yang lain. 

Pada akhirnya, jika cinta kita tak bermuara bersama, setidaknya aku sudah mulai terbiasa dengan menjadikanmu orang biasa dalam hidupku. Jika memang ini sudah mencapai titik kadaluarsa, sesungguhnya itu pencapaian terbaikku yang aku inginkan sekarang, bahwa akhirnya aku tak perlu khawatir lagi jika aku harus pergi meninggalkanmu, aku tak perlu khawatir lagi akan terluka seperti sebelum-sebelumya. Karena kita, sudah melewati ini semua dengan baik-baik saja.

Ini kisah kita di season ini. 
Tamat disini atau akan berlanjut ke season selanjutnya, biar Sang Maha Perancang Skenario yang mengatur.