Sumber gambar : bumikita.id |
Beberapa waktu lalu aku baru aja ngobrol-ngobrol singkat via chat sama teman lama yang rasa-rasanya sudah kurang lebih 5 tahun nggak pernah komunikasi, terhitung sejak penempatan kerja. Percakapan yang singkat, tapi lumayan berisi untuk kategori chattingan random ya, haha. Temanku ini orangnya filosofis, kadang-kadang kata-katanya agak sedikit kurang bisa kucerna, menurutku. Walaupun katanya bahasan obrolannya itu tergantung lawan bicara, mungkin aku duluan kali ya yang suka memantik percakapan jadi percakapan yang berat dan sulit dicerna wkwk. Kayanya kalau ngobrol sama dia obrolan yang simpel bisa jadi bahasan yang berat-berat gitu, tapi untungnya ya jadi berfaedah hehe.
Jadi percakapan kami berawal dari diskusi masalah jadwal nikahan teman kami, lalu nggak sengaja kubahas isi twitternya yang kulihat beberapa hari ini sedikit agak sedih dan galau gitu.
Katanya ya wajar kan twitter tempat keluh kesah dan update quotes gitu, tapi ya nggak semua yang di tulis itu yang benar-benar dialamin, ya bisa aja karena melihat dari fenomena sekitar yang mungkin ada ibrahnya. Tapi menurutku sih, kadang apa yang kita post itu sebagian besar mencerminkan apa yang sedang dirasakan nggak sih, walaupun itu bukan apa yang persis kita alami. Ya gitulah, intinya setelahnya aku kasi semangat ke dia. dan mulailah pembahasan berat kami.
Pas ku kasi semangat dia bilang, "It's okay, semakin dewasa semakin matirasa nggak sih, sedih atau senang udah nggak begitu-begitu banget."
Sebenarnya aku nggak setuju sama statementnya. Bagiku ya namanya manusia nggak boleh lah matirasa, karena kalo uda matirasa bakal jadi orang yang dingin, individualis, dan kurang care sama sekitar nggak sih. Ya kayak mau ngapain aja uda nggak ngaruh gitu karena hidup cuma flat aja. ya nggak tau juga sih. Karena aku nggak setuju tapi nggak tau mau kasi argumen apa, aku jawabnya gini.
"Nah salah nih, nggak gitu konsepnya. Bukan matirasa namanya, mungkin lebih tepatnya mencoba menerima segala rasa tanpa harus ditahan-tahan, ya kalo sedih ya sedih aja, kalo senang ya senang. Makin dewasa hidup makin kaya naik roll coaster. Nggak boleh matirasa, nanti nggak bisa bahagia." begitu jawabanku menanggapinya, entahlah, mungkin kayanya nggak gitu juga ya konsep jawabannya 😂.
"wkwk, kondef bahagia apa emang?" tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan.
Hahaha, aku yang selama ini juga mencari-cari apa sih definisi bahagia yang sesungguhnya yang bagiku belakangan ini sulit banget kudapatkan jadi bingung juga mau jawab apa, hahaha. ketawa aja lah. Salah dah aku membuka diskusi.
"Mungkin lebih ke mensyukuri apa yang kita jalani saat ini kali ya. Nikmati dan jalani dengan hati lapang" Jawabanku yang sungguh klise.
"Trus apa bedanya sekarang sama yang dulu? Bukannya dulu definisi kita juga seperti ini?" Buset dah, kena tangkis lagi cuy statementku 😅
"ya iya sih. Tapi mungkin bedanya cuma di tekanan kehidupannya kali ya, lebih berat"
"Kalau kita ngerasa lebih berat berarti ada 2 kemungkinan, bebannya memang bener makin berat lebiih dari bertambahnya kekuatan kita, atau kitanya yang semakin lemah jadi bebannya kerasa lebih berat... gitu?"
Jleb, damagenya nggak tanggung-tanggung nih. Aku langsung kepikiran, iya ya, apa selama ini bebannya emang berat atau aku yang jadi melemah dan nggak bisa mengimbangi beban hidup yang lagi dialami.
"Ya bisa jadi pilihan pertama, bisa jadi juga pilihan kedua" jawabku. "Jangan bilang kamu merasakan pilihan yang kedua." Aku balik bertanya. Mencoba mencari teman senasib sepenanggungan, ceritanya.
"Enggak dong, aku ngerasa masalah hidup yang dulu kaya lebih berat jadi sekarang biasa aja. Nggak ada yang sedih-sedih banget, atau senang-senang banget. Semua itu cuma takdir yang harus kita lalui aja, kayak pijakan langkah aja gitu."
Aku jleb lagi mendengarkan jawaban itu. Bukan karena tersinggung atau nggak setuju dengan pernyataannya, tapi karena jawabannya itu justru sangat kuperlukan untuk kasusku sekarang. Kenapa aku justru baru merasakan sedih yang berlebihan belakangan ini disaat orang sudah menganggap itu hal yang lumrah.
"Kok kebalik ya, apa dulu aku yang kurang merasakan beban hidup jadinya baru terasa beratnya sekarang.."
"Enggak kok, fasenya emang gitu. Ketika kamu dulu dikelilingi banyak teman, sahabat, dan orang yang peduli pasti beban akan terasa lebih ringan. Semakin kesini semakin ngerasa berkurang, semakin menyadari semua orang-orang yang dulu pada akhirnya akan semakin dewasa dan akan melangkah pada hidupnya masing-masing. Sehingga ketika kamu sendiri, beban akan terasa semakin berat. Nah tinggal nunggu nih, dari kondisi yang sekarang ini akan membentuk kamu menjadi seperti apa. Intinya, selamat bertumbuh nis..."
Aku mau nangis bacanya. di kondisi sekarang kayanya kita memang harus dipaksa dewasa agar tidak berlarut-larut berkutat pada masalah yang itu-itu saja. Menurunkan ekspektasi sekecil-kecilnya pada orang lain, tidak menggantungkan harapan pada orang lain, adalah hal yang sulit tapi harus dilakukan. Karena hidup ini adalah milik kita dan kita yang ngejalaninnya, jadi kita juga yang harus mulai belajar berpijak pada kaki sendiri dan menentukan akan menjadi orang yang seperti apa tanpa menggantungkan apapun ke orang lain. Agak melenceng ya dari pembahasan yang dimaksudkan di atas tapi entah kenapa pikiranku langsung mengarah ke situ aja gitu. Ya karena pada akhirnya semua orang akan menghilang satu persatu, dan tinggal diri kita yang harus berjalan dengan kekuatan sendiri. Jadi aku harus mencoba membiasakan diri untuk nggak bergantung sama orang lain.
Sekarang aku lagi berada di fase yang apa-apa dipikirin, terus ujung-ujungnya sedih. Padahal kayanya dulu nggak gini-gini banget. Kaya semua hal masuk aja jadi pikiran nggak pake filter, dan jadi makin sensitif. Mungkin benar, kalau dulu tempat buat kabur dari masalah banyak wkwk. Mau pergi kemana aja sama siapapun gampang. Teman ini nggak bisa, ya masih ada teman yang lain. Mau curhat juga bisa kapan aja nggak lihat waktu. Kalau sekarang serba terbatas, jadi banyak hal yang hanya lebih baik disimpan sendiri. Ya hiburannya lebih ke me time dan cari angin ke tempat-tempat yang menenangkan. Karena dalam circle lingkungan pekerjaan kita nggak semua orang bisa mengerti dan memahami kita seperti apa yang kita mau. Mungkin aku harus lebih membiasakan diri lagi dengan ini, karena kondisi dulu dan sekarang nggak sama.
Daan, susah sekali menemukan teman yang benar-benar sefrekuensi dan cocok dengan keadaan kita sekarang, sehingga aku masih sangat amat bersyukur dan berterima kasih kepada teman-temanku yang sampai saat ini masih setia mendengar segala keluh kesahku dan menemani proses bertumbuhku. Yok bisa yok, semangat semangat!
Ini awalnya aku yang mau kasi semangat ke dia, tapi malah aku yang jadinya butuh disemangatin 😂
Tapi aku bersyukur sih dengan percakapan kami itu, membuka mataku lebih jauh tentang memaknai hidup *ciaah.. lebay banget. Tapi sayang percakapan kami hanya berjalan satu hari saja, dan tidak berlanjut lagi. Semoga di kemudian hari nanti, Allah masih perkenankan kami untuk berdiskusi berfaedah seperti ini lagi ya, haha. 😁 Dia tuh kadang pemikirannya membuatku bingung, tapi sebelnya, omongannya itu selalu benar banget. Kayak, ya setelah udah berlalu baru aku sadar, nasehat dia tuh bermanfaat banget buat hidup ku walaupun lama baru bisa kudalami 😅
Dari dulu sih begitu, jadi setelah sekian lama ngga dengar dia berfilosofi dan berkata-kata, jadi seneng aja gitu dengerin omongan berfaedahnya lagi hehe.
Ya intinya terima kasih banyak pada temanku ini yang tak perlu kusebutkan namanya.
Dan semoga kita semua bisa bertumbuh ke arah yang lebih baik ya. Doakan aku agar bisa melewati tiap puzzle takdir ini dengan kuat dan hati yang lapang. Aamiin.
Selamat bertumbuh~ 💓