Rabu, 28 Agustus 2019

Kisah Si Pembela


Konon suatu hari tersebar kabar yang tak sedap didengar di sebuah daerah yang sebut saja namanya Kota Kenangan. Kasus ini awalnya hanya kasus kecil yang mungkin hanya didengar orang sambil lalu saja, namun lambat laun kasus ini menjadi kasus yang serius dan terus bergulir menjadi amat serius, menurutku. Kasus yang tidak diboleh didiamkan dan dibiarkan begitu saja.

Entah apa sebab dan mulanya, kasus ini pun didengar oleh para petinggi pemegang jabatan. Karena sudah teramat parah, kasus ini pun mulai diikut campur tangankan oleh beberapa petinggi yang harusnya bahkan menurutku kasus ini bukan kasus yang harusnya ditangani oleh pejabat2 seperti beliau. Kasus yang menurutku awalnya terlalu receh untuk diikut campuri oleh orang-orang luar, karena harusnya bisa diselesaikan dengan baik oleh para pemegang kasus. Ternyata prediksiku salah, kasus ini malah semakin diperbesar oleh para pemegang kasus dan ternyata akhirnya banyak orang yg harus terlibat didalamnya untuk membantu menyelesaikannya.

Kasus percintaan, masalah hati, masalah yang menurutku bahkan harusnya hanya si pelakon dan Allah saja yg tau. Tapi tentu saja hal seperti ini tak bisa disembunyikan jika memang perasaan telah meledak dan membuncah, apalagi jika sudah berada dibatas yang tak sanggup tertahan. Sayangnya perasaan suci yang merupakan anugerah indah yang Allah titipkan ini malah menjadi bumerang yang menyerang diri si pecinta. Menyerang orang yang dicintanya juga. Bahkan menyerang orang-orang lain yang tak bersalah. Betapa menyeramkan jika dibayangkan hanya tersebab oleh prahara cinta bisa menjadi kasus amat serius yang harus ditangani dengan cepat agar tidak semakin menyebar menjadi racun yang membunuh, itu kata orang-orang yang terdengar.

Terkisah, ada seorang rakyat biasa yang sudah cukup lama berada diantara kasus ini, menjadi salah seorang saksi bagaimana awalnya pergolakan hati ini dimulai lalu berkembang dan terus berkembang hingga sekarang. Rakyat biasa yang harusnya tak perlu pusing memikirkan kasus ini, tapi hatinya terlalu halus sehingga dengan sangat mudahnya menyerap berbagai permasalahan orang lain. Mungkin hatinya memang didesain untuk memberi ruang atas masalah orang lain, sayangnya proporsi itu tidak seimbang, bahkan ruang untuk dirinya sendiri terenggut oleh ruang yg ia sisihkan untuk orang lain. Entah terbuat dari apa hatinya hingga menjadi lemah dan terperdaya seperti itu. Namun sebenarnya ia sudah tidak terlalu ambil pusing dengan kasus itu karena menurutnya, ia tahu apa yang sebenarnya terjadi, karena salah satu  tokoh dalam kasus itu adalah orang yang menurutnya sangat dekat dengannya, tokoh si yang dicinta. Harusnya dua-duanya, tapi entah karena apa, hubungannya dengan si tokoh pecinta menjadi renggang dan penuh dengan kebisuan.

Suatu hari, saat sedang mengembara dan bepergian, si rakyat biasa bertemu dengan teman lamanya, lantas mereka berbincang dalam waktu yg cukup lama. Niat si rakyat biasa hanya untuk melepas lelah pasca perjalanan jauh sembari berbincang santai, alih-alih ternyata si teman lama membahas pembicaraan yang berat dan serius. Tentang kasus serius yang sedang menyebar di Kota Kenangan ini. Si rakyat biasa awalnya tak mau ambil pusing, namun ternyata si teman lama membicarakan kasus baru yang baru ia dengar, kasus yang teramat serius. Rupanya si rakyat biasa tidak tahu bahwa kasus yang ia kira sudah mereda menjadi semakin menjadi-jadi sekarang. Kasus yang ternyata sudah menjadi bagian dari kasus tinggi yang ditangani oleh orang-orang penting. Ia memang hanya rakyat biasa, ia wajar saja tidak tahu, hanya saja ternyata pada akhirnya kasus itu sampai juga ke telinganya.

Namun si rakyat biasa, hanya mendengar sambil mengernyitkan dahi. Merasa tak percaya atas apa yang ia dengar. Kasus besar yang menimpa temannya itu, menurutnya sudah terlalu parah dan menyedihkan. Ia merasa tahu betul temannya, judging-judging yang ia dengar, serta perlakuan berat sebelah yang memberatkan temannya, menurutnya sudah keterlaluan. Maka setelah cerita itu selesai diceritakan, ia menyampaikan argumen pembelaan yang tentu saja langsung ditepis oleh teman lamanya. Teman lamanya itu merasa ia tak tahu kejadian yang sebenarnya. Tapi si rakyat biasa tetap menyampaikan apa yang selama ini ia percayai, apa yang selama ini ia rasa tahu betul duduk perkaranya.

Ia hanya ditertawakan, namun ia tetap membela habis-habisan, membela temannya, teman yang bagi ia harus ia lindungi dari statement jahat orang-orang yang hanya melihat dari satu sisi saja. Tapi ia kalah, tentu saja kalah jika dibandingkan dengan semua bukti yang ditunjukkan oleh teman lamanya. Setidaknya ia sudah berbicara hingga habis kata-katanya, hingga tak bisa berkata lagi, setidaknya ia sudah berusaha untuk menjadi seorang pembela. Seorang pembela bagi temannya.

Sayang, sekali lagi, harusnya masalah itu hanya lepas lalu saja, tapi masalah itu melekat di pikiran si rakyat biasa yang terlalu sok memikirkan orang ini. Ia ingin sesegera mungkin menemui temannya hanya untuk mengatakan "it's okey, everythings gonna be alright, semua akan baik-baik saja. Bahkan jika orang-orang menganggapmu penjahat, aku masih akan berdiri di sini menjadi salah satu pembelamu. Because i trust you. Iya, semua akan baik-baik saja, jangan khawatir, jangan pikirkan apa kata orang, yang penting kamu menjadi diri kamu yang terus menjadi lebih baik dan kuat. It's okey. It's okey."  Tanpa mengatakan apa kasus yang menyakiti temannya itu, ia hanya ingin mengatakan itu. Hanya ingin melindungi. Itu saja.

Tapi, hal-hal yang terjadi kemudian membuat hatinya terluka. Orang yang ia bela habis-habisan, ternyata malah menyenangi perannya dalam kasus ini. Terus membiarkan semua tetap mengalir tanpa ada tindakan untuk berhenti. Menganggap semuanya adalah hal biasa yang tak perlu dipikirkan, dan terus melakonkan perannya dalam drama kasus ini. Si pembela hanya tersenyum getir, antara ingin marah dan tak peduli. ingin marah? Kemudian si pembela bertanya dalam hatinya, siapa kamu yang harus masuk terlalu dalam kedalam suatu hal yang bukan kapasitasmu, ke dalam suatu hal yang bukan otoritasmu. Lalu si rakyat biasa hanya menahan diri, mencoba meredam sendiri, meredam hati yang sudah kalut karena menjadi si sok pembela yang bahkan tak pernah dianggap oleh yang dibela. Lalu menyakiti hati sendiri.
Dicibir oleh si teman lama, tentang kebenaran kata-katanya. "Ini, yang kamu bela, bahkan dia tak peduli dengan kasus itu, kasihan sekali kamu. Sudah jangan bertingkah menjadi seorang pembela " memejamkan mata, berkali-kali si rakyat biasa itu memejamkan mata, merenung, mencari apa yang bisa meredakan segala pikiran liarnya.

Kini, si rakyat biasa benar-benar menjadi seorang rakyat biasa. Yang tak akan tahu menahu lagi tentang kasus yang tak berujung itu. Mendengarpun sudah tak ingin. Segala pemikirannya membawanya pada kesimpulan, "Kita tak pernah tahu seluruh yang tersimpan di hati seseorang meskipun kita sudah sangat mengenalnya, meskipun berulang kali mendengar ceritanya, meskipun banyak menghabiskan waktu bersama, akan selalu ada rahasia yang tersimpan di sudut hatinya dan tak bisa kita ketahui meskipun kita ingin. Tersimpan bersama keinginan terbesarnya, mungkin, yang tak ingin diketahui oleh siapapun."

Mungkin saja sebenarnya didalam benak kecil si tokoh tersebut, teman yang sangat dibanggakan oleh si rakyat biasa, sedang berupaya untuk berdamai dengan hatinya, membaca apa sebenarnya isi hatinya dan mungkin akan mengakhiri kasus itu dengan ending yang indah. Tapi si rakyat biasa yang terlalu sok tahu hanya karena merasa benar-benar memahami isi hati temannya ini begitu cepat mengambil kesimpulan dan mengeluarkan kata-kata pembelaan yang menyerang dirinya sendiri.

Begitulah kisah si pembela. Kemudian ia merenung lagi, menghela napas, berbaring dan tidur. Berharap saat terbangun di esok hari hatinya bisa damai seperti sedia kala. Si pembela esok harinya akan bermetamorfosis menjadi si pengamat dan pendengar saja. Tidak lebih. Semoga semesta merestui.

Minggu, 18 Agustus 2019

Menjadi Langit



Senja memang indah, sejak prosa-prosa romantis dan sajak-sajak puitis tercipta, kata senja tak pernah luput hadir menjadi bagian dari rangkaian kata yang tersusun di dalamnya. Mengutuhkan kalimat menjadi sesuatu yang meneduhkan untuk dibaca, melahirkan romantisme cerita yang indah, dan menjadi teman bagi para penikmat rindu yang hatinya sedang dihinggapi bunga-bunga cinta.

Senja memang menenangkan, semua menjadi satu dan luruh saat senja di depan mata, menjadi tenang. Tak ada lagi perbedaan antara sedih dan bahagia. Jingga, membentang cakrawala, semua orang tersenyum dan membisu saat melihatnya, entah sedang benar-benar senang, mencoba senang, atau berpura-pura senang.

Senja memang menyenangkan, ia bisa menjadi tempat bersembunyi hati yang dilanda sendu, tempat menumpahkan segala kegalauan hati yang gundah gulana, tempat beristirahat bagi hati yang telah lelah berkelana atau menunggu, tempat menceritakan segala resah yang tak kunjung reda, tempat menitipkan cerita yang tak menemui akhir, dan tentu saja tempat berbagi moment hati yang sedang bahagia.
Menyenangkan sekali menjadi senja. Menyenangkan sekali bertemu dengannya.

Semua orang berlomba-lomba menjadi senja. Semua orang berbondong-bondong mengabadikan hadirnya. Merangkai kata demi kata yang terdengar syahdu, dan tentu saja dengan disisipi kata senja, dan gambar senja tentunya.
Aku juga begitu,
Berapa banyak senja yang kupotret lalu kujadikan gambar utama tulisanku,  
Seperti, menyenangkan sekali menangkap setiap senja di berbagai titik di bumi. 
Ah, aku ingin menangkap lebih banyak titik senja lagi, nanti, bersama dia yang akan kutularkan betapa indahnya melihat senja saat bersama separuh hati yang telah terisi utuh.
Demikian cerita senja.

Namun ada satu hal yang aku tangkap belakangan ini. Jika semua orang berlomba-lomba menjadi senja, siapa yang akan menjadi langitnya?
Tentu saja menyenangkan menjadi senja, dengan langit yang meneduhinya.
Aku sempat berpikir, mengapa tidak mencoba menjadi langit? 
Menjadi tempat terbitnya segala cahaya. Menjadi tempat lahirnya senja yang indah.
Menjadi yang menerima apa adanya, dengan tangan terbuka menerima segala sisi yang ada. Menjadi kuat, untuk menjadi seseorang yang menguatkan. Memberi energi untuk membuat senja menjadi bercahaya. Bukankah hebat berdiri dibelakang senja yang menyenangkan semua orang?

Dan yang paling penting lagi, tak masalah menjadi apa, menjadi senja, menjadi langit, jika itu membuat kita menjadi bermanfaat dan bahagia, mengapa kita harus menolaknya? Iya, kan? :)

Untuk kamu juga tidak apa-apa
Tidak apa-apa aku menjadi langit, jika kamu bisa terus merekah bahagia,
Dan jika kamu kelam, aku siap menjadi tempat kamu kembali.
:p