Senin, 14 November 2011

Mawar Permata di Pangkuan Bunda




Kelamnya langit menaungi bumi sore itu. Terlintas beberapa kali kilat menyambar yang terkadang disertai petir menggelegar seperti hendak memecah langit. Selang beberapa waktu hujan mulai berjatuhan dan membasahi tanah tandus di depanku. Sesekali angin meniup gubuk kecil tak berpenghuni tempatku berteduh saat ini. Kuusap wajahku yang basah akibat biasan hujan dengan sapu tangan yang kini tergenggam erat di tanganku. Sapu tangan kesayanganku, hadiah dari bunda. 
Ku teringat kembali peritiwa pagi tadi, di mana terjadi pertengkaran hebat antara aku dan bunda. Sungguh, itu merupakan pertama kalinya aku melawan bunda dengan kata-kata kasar.
“Diela, bunda sudah katakan, kamu jangan berhubungan dengan Radit lagi.”
“Tapi mengapa, Bunda?”
“Dengar, Nak.. Ini semua demi kamu.. Bunda tidak ingin kamu menderita.”
“Tapi, Bunda.. Dengan meninggalkan Radit justru membuat aku menderita..”
“Radit itu tidak cocok untuk kamu, dia bukan lelaki yang baik..”
“Radit itu baik, Bunda.. Hanya saja bunda selalu menilainya negatif..”
“Bunda tahu apa yang terbaik untuk kamu, Nak..”
“Terserah apa kata bunda, namun sampai kapanpun Diela nggak akan ninggalin Radit..!” bentakku kepada bunda sambil berlari meninggalkan rumah.
Perasaan bersalah menghantui pikiranku. Apa yang telah aku lakukan kepada bunda tadi..? Aku telah menyakiti hati bunda, orang yang selama ini telah menyayangiku dan mencurahkan kasih sayangnya padaku. Sesal terus menghampiriku. Inginku segera pulang dan mencium tangan bunda untuk meminta maaf. Tapi, bagaimana jika bunda kembali memintaku untuk meninggalkan Radit.. Itu tidak mungkin kulakukan karena aku sangat menyayangi Radit. Dia telah membuat hari-hariku selama ini menjadi indah. Dia bagaikan kejora yang terbit di lubuk hatiku yang kelam, yang menerangi tiap langkahku, dan mengenalkanku akan 5 huruf yang membuatku terbang tinggi menembus nirwana, ..Cinta… Dan sekarang bunda ingin memisahkan aku dengannya. Bagaimana mungkin? Mengapa bunda tidak menyukainya? Apakah karena Radit orang tak mampu? Masalah ini benar-benar menjejal dalam pikiranku. Mengapa aku harus menghadapi masalah yang begitu berat seperti ini.. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sekarang.

****
Hujan pun kian mereda. Aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Juika aku terus lari dari masalah, ini semua tak akan pernah selesai. Dengan lngkah gontai kususuri jalan yang basah akibat sriraman hujan. Dan kuberharap kemarahan bunda juga telah reda seiring dengan redanya hujan yang membasahi bumi.
Kuhentikan langkahku di depan halaman sebuah rumah bercat putih. Dengan perasaan waswas kumasuki halaman rumah yang luas itu. Hatiku berdetak tak karuan. Aku takut bunda masih marah padaku. Kuberanikan diri membunyikan bel yang berada di depanku. Namun setelah lama ku membunyikan bel tersebut, tak ada satupun tanda-tanda seseorang yang akan membukakan pintu. Kubunyikan bel sekali lagi. Tiba-tiba dari dalam rumah kudengar langkah kaki tergopoh-gopoh hendak membuka pintu.
“Non Diela.. Ya ampun non.. non Diela kemana aja..? Ibu dari tadi cemas mikirin non.. Mas Fandy dan Mbak Zahra udah keliling nyariin non Diela tapi nggak ketemu-ketemu.. Non Diela nggak apa-apa kan?”
“Nggak apa-apa kok, Mbok.. Diela tadi cuma butuh waktu untuk nenangin diri.”
“Tunggu sebentar ya, Non.. Mbok panggil ibu dulu.”
“Iya, Mbok..”
Kuperhatikan gerak Mbok Inem yang berlari masuk ke dalam. Mbok Inem telah bekerja dengan keluargaku sejak aku masih kecil. Semenjak ayahku meninggal, bunda menggantikan posisi ayahku untuk bekerja. Ketika itu aku masih berumur 7 tahun. Jika bunda bekerja, mbok Inemlah yang menjaga dan mengurusku dirumah. Aku sangat sayang dengan mbok Inem, mbok Inem bagaikan bunda kedua bagiku. Hanya mbok Inemlah yang yang mengerti perasaanku saat ini. Perasaan yang tak dimengerti oleh siapapun juga, termasuk bunda.
“Diela..” terdengar suara bunda memecah lamunanku. “Bunda khawatir dengan kamu, nak..kamu pergi ke mana, Sayang..” isak bunda sambil memelukku erat.
“Maafkan Diela, Bunda.. Diela udah membuat seisi rumah menjadi cemas. Diela udah membuat bunda sedih.”
“Iya, sayang.. maafin bunda juga.. tadi bunda terlalu kasar sama Diela..”
“tapi kamu nggak apa-apa kan, Diel..? Mbak cemas sama kamu..” tambah Mbak Zahra sambil mengelus rambutku.
“Diela nggak apa-apa kok, Mbak..”jawabku sambil tersenyum. Awan putih terasa meneduhi jiwaku saat ini. Sejuk rasanya hatiku dapat kembali berada di tengah keluargaku. Kuharap saat-saat bahagia ini akan terus berlanjut.
Tapi saat-saat indah itu tak berlangsung lama. Awan putih yang terbang indah meneduhi jiwaku sore tadi kini malah menjelma berbalik menjadi awan hitam dengan petir yang menggelegar di atas batinku.
“Besok keluarga Pak Ardi Laksono, rekan kerja bunda akan datang dari Jakarta bersama anak laki-lakinya, Zaki.” kata bunda memulai pembicaraan di malam itu. “Bunda dan Pak Ardi bermaksud ingin menjodohkan Zaki dan Diela.” ucap bunda yang membuatku tersentak kaget. Perkataan bunda bagaikan petir di siang hari yang menyambar seluruh harapanku.
“Apa? Bunda ingin menjodohkan Diela?” sentakku kaget
“Iya, untuk itu besok kamu jangan pergi kemana-mana. Kamu harus menyambut kedatangan mereka.”
“Tapi bunda.. Bunda belum membicarakan hal ini dengan Diela.. Dan bunda juga tahu kalau Diela mencintai Radit..”
“Diela.. Kamu harus dengar kata-kata bunda.. Zaki itu jauh lebih baik daripada Radit. Dia berpendidikan tinggi, lulusan luar negeri. Dia juga merupakan anak yang baik dan hormat kepada orang tua. Kamu akan bahagia jika bersamanya, Nak.. Dia yang pantas untuk kamu, bukan Radit..!”
“Tapi Diela nggak kenal dengan Zaki. Bagaimana mungkin Diela bisa mencintai orang yang tidak Diela kenal..”
”Cinta itu dapat tumbuh perlahan-lahan jika kalian terus bersama nanti.”
“Bunda.. Diela sangat mencintai Radit.. Diela nggak akan ninggalin dia..”
“Kamu harus tinggalin Radit.. Dia bukan lelaki yang baik untuk kamu. Dia hanya ingin memanfatkan kamu, nak.. kamu harus dengar kata bunda.”
“Bunda jahat…” teriakku sambil berlari meninggalkan bunda dan yang lainnya dengan air mata yang berderai. Bunda kali ini benar-benar keterlaluan. Bunda akan menjodohkan aku dengan orang yang tidak kukenal tanpa persetujuanku terlebih dahulu. Dan untuk kali ini aku tidak bisa diam lagi. Aku tak mau mengorbankan perasaan yang selama ini telah kupertahankan. Langkahku sudah mantap. Yah, malam ini juga aku harus pergi dari rumah ini. Aku harus rela meninggalkan semuanya daripada aku harus terus tersiksa seperti ini.

Bunda…
Sebelumnya Diela minta maaf sebesar-besarnya kepada bunda. Diela harus pergi. Maaf jika Diela pergi tanpa pamit bunda dan yang lainnya. Diela harus pergi mengejar cinta Diela. Diela tahu apa yang Diela lakukan ini salah dan bukan yang terbaik di mata bunda. Tapi ini telah jadi pilihan Diela. Diela harap bunda mengerti. Diela tidak bisa mengikuti apa yang bunda inginkan, dan juga menjadi anak yang dapat bunda banggakan. Tapi dari dalam hati Diela yang terdalam, Diela sangat sayang dengan Bunda, Mbak Zahra, dan Mas Fandy 
Selamat tinggal, Bunda..

Salam sayang,
Diela 



Sepucuk surat itu menjadi saksi bisu kepergianku tengah malam itu. Kutinggalkan sehelai kertas putih itu diatas meja belajarku. Tak terasa butiran hangat dari kelopak mataku jatuh menetes membasahi pipiku. Berat rasanya kutinggalkan ini semua. Rumahku yang selama ini menyimpan banyak kenangan sejak kuterlahir di bumi ini hingga saat-saat ku harus meninggalkannya. Juga seisi rumah ini, Bunda, Mbak Diela, Mas Fandy, Mbok Inem, dan… Ayah… 
“selamat tinggal semuanya…” ucapku lirih di dalam hati.
Lalu keberlari menyusuri jalan sunyi yang diselimuti kelamnya malam, meninggalkan semuanya…
****


“Assalamu’alaikum…” ucapku sambil mengetok pintu Sebuah rumah kost yang tampaknya sunyi. Kulirik arlojiku. Jarum menunjukkan pukul satu tengah malam. Mungkin para penghuninya sudah terlelap dibuai bungan tidur. Tapi kumasih mengetok pintu dan berharap seseorang membukakan pintu. Dan benar, kudengar bunyi rebut dari dalam rumah hendak membuka pintu.
“Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikum salam, sebentar..” teriak seseorang di dalam sana, dan kukenal betul suara itu. “Diela…” terdengar suara menyebut namaku ketika pintu terbuka.
“Radit..” isakku dengan mata yang masih sembab.
“kamu ngapain malam-malam ke sini? Sendirian lagi.. kalu terjadi apa-apa gimana..?
“Aku.. Aku kabur dari rumah..”
“Apa..?? kamu kabur..??” 
“Iya.. Aku bertengkar dengan Bunda. Bunda ingin menjodohkan aku dengan orang lain, dan aku tidak mau itu..” kembali air mataku berlinang. Sulit sekali untuk menyembunyikan rasa sedih ini.
“Ya sudah.. Kamu masuk dulu ya..” Radit mempersilahkanku masuk. Setelah masuk, ku ceritakan panjang lebar semua yang terjadi antara aku dan bunda.. semuanya.. dan Radit menenangkan kesedihanku. Kebetulan ada sebuah kamar yang masih kosong. Maka Radit menyuruhku untuk menggunakan kamar itu untuk aku tidur. Radit bagaikan malaikat pelindung didalam lara hatiku.

****
Setelah lama kami berunding, akhirnya aku dan Radit memutuskan untuk pergi ke luar kota. Kami melangsungkan pernikahan. Pamannya Radit menjadi saksi cinta kami di atas pelaminan. Semua impianku kini menjadi kenyataan. Betapa senangnya aku. Tapi ada satu yang masih mengganjal pikiranku. Bunda.. Aku tidak memberitahukan kabar gembira ini padanya. Juga pada seisi rumah itu. Ada perasaan sedih, sesal, kecewa dalam kalbuku. Kami menikah tanpa restu dari bunda. Tapi aku selalu berharap pilihan yang ku ambil ini tidak salah. Yah, cintaku dan Radit akan menghapus segala sedih dihatiku. 
Selang beberapa waktu, lahirlah buah hati kami, Shaditya Eka Mawar Permata. Nama ini kupilih karena kuberharap dia akan menjadi mawar yang terus mekar di kehidupanku, memberikan bau semerbak bagi orang sekitarnya dan menjadi permata di dalam kehidupan kami. Permata yang akan terus bersinar dalam kelaraan dan memberi cahaya kebahagiaan.
Namun, kebahagiaan itu hanya bertahan selama setahun. Setelah itu kehidupan kami sering dilanda perselisihan dan pertengkaran terutama mengenai masalah ekonomi. Radit belum menemukan pekerjaan yang cocok sementara kebutuhan kami sangat besar, apalagi sejak kelahiran Mawar, kebutuhan kami semakin bertambah. Akibat tekanan ekonomi itu, Radit jadi sering pulang malam, bahkan tak jarang ia pulang dalam keadaan mabuk. Barang haram yang dulu tak pernah ia sentuh kini telah menjadi teman setianya tiap kali kami ada masalah. Tindakannya semakin menjadi-jadi. Terkadang ia melakukan kekerasan padaku, entah sadar atau pengaruh minuman keras yang diminumnya. Kini Radit benar-benar berbeda. Malaikat pelindungku yang dulu selalu merentangkan sayapnya untuk meneduhiku kini menjadi iblis penghancur dengan tombaknya yang terus menyiksa batinku. 
Puncak dari semuanya adalah ketika ku melihatnya bermesraan dengan wanita lain. Hatiku bagai tersambar petir, bahkan lebih dasyat dari itu. Pahlawn yang selama ini kubela, kusayang telah berkhianat padaku.
“Mas Radit..” Panggilku ketika Radit pulang ke rumah. Yah, tak lain dengan minuman keras di tangannya. “Mengapa Mas Radit tega mengkhianati aku? Apa salahku, Mas?”
“Eh,, kamu ngomong apa sih.. jangan asal bicara..” ucap Mas Radit dalam keadaan mabuk.
“Siapa wanita itu, Mas?” Tanyaku dengan penasaran.
“Kamu tidak perlu tahu siapa dia.. Kamu jangan ikut campur urusanku.. Urus saja anakmu.”jawab Radit acuh.
“Mas, aku harus tahu, Mas.. Aku istrimu. Aku sudak cukup sabar dengan kelakuanmu selama ini. Tapi untuk kali ini, aku nggak bisa diam, Mas.”
“Tahu apa kamu.. Apa yang bisa kamu berikan padaku. Lihat kehidupan kita sekarang.. Kamu nggak bisa memberi apa-apa ke aku.”
“Meskipun hidup kita tidak berkecukupan. Tapi kita harus sabar, Mas. Rezeki ada ditangan yang di atas. Jka kita giat berusaha dan berdoa, kita pasti dapat melewati ini semua.”
“Sabar.. Sabar.. Sampai kapan karus bersabar. Aku sudah cukup tersiksa dengan keadaan seperti ini. Ditambah lagi kehadiran bayi itu, membuat aku semakin pusing..”
“Cukup, Mas.. Dia anak kita.. Darah daging kita.. Mas tidak seharusnya berkata seperti itu. Seharusnya Mas mencari kerja untuk menafkahinya, itu tanggung jawab mas sebagai ayahnya. Bukan malah enak-enakan bermesraan dengan wanita lain.” 
“Hei.. jaga ucapanmu..!” bentak Radit sambil mengarahkan telunjuknya padaku.
“Mas, aku sangat mencintai mas Radit. Tapi mengapa Mas Radit tega mengkhianati cintaku.”ucapku lirih
“Cinta.. Cinta.. Aku tak butuh cinta.. Aku sekarang butuh uang.. uang.. Cinta itu hanya omong kosong…”
“Mas Radit.. Mana janji mas dalam ikatan pernikahan kita dulu. Kita telah bersumpah dihadapan penghulu akan menghadapi hidup ini bersama baik suka maupun duka.. Mana sekarang janji itu, Mas?” isakku dengan mata berlinang.
“Masa bodoh dengan janji itu.. sumpah itu.. Dengar, hartamulah dulu yang membuatku jatuh hati padamu. Jika aku bisa menikah denganmu maka hidupku tidak akan sengsara karena kamu adalah anak dari seorang pengusaha. Tapi ternyata itu semua hanya mimpiku saja.. Apa yang kudapat setelah kumenikah denganmu? Hanyalah kesengsaraan..kesengsaran dan kesengsaraan yang terus kudapat.. Hidupku melarat.. Dan cinta ini telah hilang.. Jadi jangan pernah mengharap cinta dariku..!” Bentak Radit.
Kata-kata yang baru saja terlontar dari mulut Radit Bagaikan api yang membakar seluruh rasaku, cintaku dan hatiku. Pengorbanan dan kesetiaanku selama ini padanya berbuah pengkhianatan. Pengorbanan yang selama ini kulakukan kanya sia-sia belaka.
“Apa, Mas..?? Jadi Mas Radit hanya mencintaiku karena harta.. Mengapa mas tega melakukan ini semua. Aku telah mengorbankan semua hanya untuk mas, aku rela meninggalkan semuanya hanya demi mas Radit.. orang yang selama ini kuanggap sebagai malaikatku. Tapi mas kini telah menghancurkan semuanya. Apa guna kita membangun mahligai cinta ini jika hanya akan berakhir seperti ini, tanpa dasar cinta yang tulus..” teriakku dengan hati yang terbakar api benci. Aku sudah tak peduli akan sekitarku yang saat itu telah larut malam. Mungkin para tetanggaku terusik akan pertengkaran kami. Tapi itu sudah tak terpikirkan lagi olehku. Masalah besar di depan mataku ini jauh lebih penting dibanding itu semua. Aku terkulai lemas di atas kursi dengan air mata yang telah habis tertumpah di pipiku. 
Tanpa pikir panjang lagi, aku membereskan barang-barangku dan Mawar. Malam itu juga aku pergi dari rumah yang bagaikan neraka itu. Perceraian, itulah satu-satunya jalan keluar untuk aku dan Radit. Aku sudah tak sanggup menghadapi masalah yang sedemikian berat ini. Aku sudah muak melihat wajah dusta Radit. Wajah polos yang selalu ia tampakkan dulu itu hanyalah topeng yang ia pasang untuk menjeratku. Dan bodohnya aku terpedaya oleh tipu muslihatnya. Dan lebih bodohnya lagi aku harus meninggalkan keluarga yang menyayangiku hanya untuk jeratan kesengsaraan Radit. Aku merasa bagaikan orang yang paling merugi di dunia ini. Aku merupakan anak terjahat di bumi ini karena telah mendurhakai Bunda yang telah melahirkanku.

Ya Allah.. Ya Robbi..
Ampunilah dosaku…
Hambamu menyesal telah melakukan kesalahan besar
yang mungkin tak dapat termaafkan.
Dan penyesalan itu kini tiadalah berguna..

Ya Allah.. Ya Rahman.. Ya Rahim..
Jagalah selalu bunda.. Ya Allah..
Perkenankanlah hambamu ini untuk bersujud di kaki bunda memohon ampun atas dosa-dosa yang selama ini telah banyak melukai hatinya.
Perkenankan doa hambamu ini..
Amiin….. 
Sebaris doa kupanjatkan kepada Sang Pencipta. Tak henti-hentinya kubersujud dan berdoa kepada-Nya akan dosa dan kesalahanku selama ini.

****
Cuaca mulai tak bersahabat. Langit mulai menampakkan kekelabuannya. Awan hitam telah siap untuk menurunkan pasukan airnya ke bumi. 
“Mawar.. cepat pulang, Nak.. Hari mau hujan..” teriakku pada anak mungil itu.
“Iya, Ma..” sahut Mawar kecilku berlari dengan kencangnya ke arahku.
“Mawar mandi ya.. Setelah itu pakai pakaian yang bagus ..”
“Kita mau ke mana, Ma?” tanyanya polos.
“Mawar mau bertemu nenek ?”
“Nenek..??” tanya Mawar heran.
“Iya, nenek yang sering mama ceritakan ke Mawar.. Sebentar lagi kita akan bertemu nenek..” jelasku.
“Hore.. Mawar mau bertemu nenek...” teriak Mawar kegirangan. Aku memperhatikan gerak lincah buah hatiku ini. Rasanya tidak adil jika aku tidak mempertemukan Mawar dengan neneknya. Tiap malam dia selalu bertanya padaku tentang sosok neneknya. Dan mungkin sekarang saatnya aku akan mempertemukan mereka. Sudah 5 tahun aku meninggalkan bunda. Dari lubuk hatiku yang terdalam aku sangat rindu dengan bunda, rindu rumahku, rindu semua yang kutinggalkan. Namun, rasanya aku merasa malu untuk bertemu bunda mengingat kejadian yang telah ku alami. Namun keinginan mawar yang terus ingin bertemu neneknya membuat hatiku tergerak untuk mempertemukan mereka. 
“ Aku harap bunda mau menganggap Mawar sebagi cucunya.” tundukku sedih. Bagaimana pun juga Mawar adalah anak dari Radit, orang yang bunda tidak setujui untuk berhubungan denganku.
“Kamu mau ke rumah bundamu, Diel ?” terdengar suara bertanya di belakangku.
“Ah.. iya, Lun..”jawabku sederhana sambil tersenyum simpul.
“Oh, baguslah.. pantas saja Mawar tampak senang sekali..” 
“Iya, dia selalu ingin bertemu dengan neneknya. Dan ketika mendengar aku ingin mengajaknya bertemu bunda dia girang sekali.Tapi aku takut bunda tidak menganggapnya sebagai cucu” 
“Diela, bundamu nggak akan sejahat itu. Percaya sama aku.”
“Terima kasih ya, Lun..” 
Luna hanya menjawab dengan senyum simpul. Sejak pertengkaran yang menyebabkan aku lari dari Radit, Aku tak tahu lagi harus tinggal di mana. Untungnya saat di perjalanan aku bertemu Luna, sahabatku ketika SMA. Dia menawarkanku untuk tinggal dirumahnya. Di rumahnya ia memang kesepian. Suaminya sering pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Dan mereka belum dikaruniai anak. Untuk itu ia begitu semangat memintaku untuk tinggal bersamanya. Terlebih lagi ada si kecil Mawar yang tentunya akan membuat suasana rumahnya lebih ceria.Kini telah empat tahun aku tinggal bersamanya.Sebagai balas jasanya, aku membayar sewa tiap tahun padanya. Awalnya ia menolak. Namun setelah terus menerus kudesak akhirnya ia terpaksa menerimanya juga.

****
Setelah aku dan Mawar siap, Luna mengantarku ke terminal. Luna melepas kepergian kami dengan linangan air mata.
“Hati-hati ya..” tukas Luna sambil memelukku.
“Iya.. terima kasih atas semuanya.” Ucapku 
“sama-sama..” balas Luna. Setelah bus yang kami naiki akan berangkat, kami pun melambaikan tangan kepada Luna.
Namun ketika dalam perjalanan, terjadi sesuatu di luar perkiraanku. Bus yang kami tumpangi terasa oleng. Para penumpang menjerit ketakutan. Aku mendekap erat Mawar di pelukanku. Hingga akhirnya bunyi suara yang keras melemaskan tanganku dan membawaku dalam dunia kegelapan. 
“Diela.. Diela..” terdengar sapaan pelan berbisik di telingaku. Mataku terasa berat untuk dibuka. Badan ini rasanya telah mati. Namun perlahan-lahan ku dapat melihat dan merasakan bahwa saat ini ku berada di Rumah Sakit. Luna berdiri disamping ranjangku dengan mata sembab bersama suaminya. Ketika sadar ku langsung teringat Mawar. Saat kecelakaan itu dia berada di dekapanku.
“Mawar..” panggilku dengan nada sayu.
“Tenang Diela.. Mawar tidak apa-apa. Dia hanya mengalami luka ringan di tangannya. Sekarang dia sedang di obati dokter.” kata Luna masih dengan mata yang berkaca-kaca. Lega rasanya aku mengetahui bahwa Mawar tidak apa-apa.
“Luna, bisakah aku minta tolong padamu?” tanyaku pada Luna. Suaraku yang hampir hilang membuat Luna harus mendekatkan telinganya ke arahku.
“Ada apa Diela? Aku akan bantu sebisaku.” Jawabnya. Aku pun membisikkan sesuatu padanya. Dada ini terasa sesak. Entah Luna mendengar jelas perkatanku atau tidak, karena aku hanya mampu berbicara dengan nada terputus-putus. Tapi dari mimik wajahnya aku tahu bahwa dia mengerti apa yang kukatakan.
Tak lama pintu terbuka. Kulihat samar-samar bayangan bunda dari arah pintu disusul Mbak Zahra dan Mas Fandy.
“Diela...” jerit bunda. “Mengapa kamu jadi begini, Nak.. Bunda Rindu sekali sama Diela. Bunda selalu berdoa agar bunda dapat bertemu Diela setelah sekian lama bunda kehilangan kamu sayang.. Tapi mengapa bunda harus bertemu denganmu dalam kondisi seperti ini..” isak bunda dengan air mata yang berlinang di pipinya. 
“Maafkan Diela, Bunda.. Diela banyak salah sama bunda. Diela nggak dengerin nasehat bunda. Diela pergi tanpa pamit bunda. Diela nyesel bunda..”ucapku terbata-bata.
“Iya, sayang.. Bunda telah memaafkan semua kesalahan Diela. Bunda juga minta maaf karena terlalu memaksa kamu untuk menuruti kemauan bunda.. Bunda sangat kehilangan kamu..” bisik bunda sambil mencium dahiku.
“Terima kasih Bunda..”ucapku. Setelah itu dunia terasa gelap membawaku ke suatu tempat nun jauh. Seberkas sinar menghantarkanku menuju suatu tempat nan indah,di mana ada aku, bunda dan Mawar tersenyum bahagia menatap langit cerah yang bersahaja..Aku sayang semuanya.......
****



Untuk Bunda...
Bunda... Diela titipkan mawar tercinta Diela untuk bunda.. Mawar yang selama ini ingin sekali Diela tunjukkan kepada bunda. Mawar yang menjadi alasan mengapa Diela masih dapat bertahan hidup hingga saat maut menjemput Diela. Mawar yang lebih istimewa dari mawar-mawar lainnya. Diela harap bunda akan menjaga mawar Diela. Jangan biarkan ia layu. Terus sirami ia dengan cinta kasih bunda.. seperti bunda memberikan seluruh kasih sayang bunda dulu kepada Diela..
Selamat tinggal bunda.. Diela sayang Bunda.........

Salam sayang,
Anakmu

Shadiela Revani 


Itulah segores pintaku pada bunda yang ku tulis di atas kertas putih berhiaskan mawar merah di atasnya. Dan secarik kertas di sebelahnya. Itu adalah akta kelahiran bertuliskan nama Shaditya Eka Mawar Permata. Itu adalah pesan terakhirku untuk Bunda sebelum ku meniti surga. mawar yang ingin kuberikan kepada Bunda sebelum senja menutup mataku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar