Terik
matahari serasa membakar kota Jakarta siang ini. Debu dan asap kendaraan menari
indah di sepanjang jalan. Namun aku terus berjalan, menyusuri jalan berdebu
yang seolah bermain-main di kakiku. Kota metropolitan ini, kalau bukan karena
ada kau, mungkin aku tak akan bisa bertahan di sini hingga sekarang.
“Hei, Aku Jerry!”Tiba-tiba
sesosok laki-laki muncul di hadapanku seraya menjulurkan tangannya hendak
berkenalan.
“Oh, hai.. Aku Fanny!”balasku
dengan tersenyum.
“Kamu pasti juga mahasiswa baru
di sini.”Serunya. Aku mengangguk
mengiyakan. “Kalau begitu, bagaimana jika sekarang kita menjadi teman?”Ajaknya. Pertanyaan
yang sungguh tiba-tiba, tapi aku
mengiyakan ajakannya karena kupikir ia
orang yang lumayan asyik.
Sejak hari itu aku
mempunyai seorang teman di kampus yang sunyi ini, kampus yang sebenarnya tak
begitu kuinginkan kalau saja orangtua ku tidak memaksaku untuk kuliah di sini.
Kampus yang membuatku harus jauh dari orangtua, dan orang-orang yang aku
sayangi.
***
Panas matahari terasa semakin terik,
berapa kali kuseka keringat yang terus berjatuhan di dahiku. Tak lama kemudian
dari kejauhan terlihat sebuah angkot. Akupun mengambil keputusan untuk
melanjutkan perjalananku menggunakan jasa angkot, tak sanggup melawan hari yang
panasnya terasa semakin menjadi-jadi.
***
“Kau tahu, mengapa hari pertama
kuliah waktu itu aku tiba-tiba menghampirimu?”Tanyanya tiba-tiba ketika kami
sedang duduk santai. Aku hanya menggeleng. Sebenarnya aku juga penasaran
tentang kejadian beberapa bulan lalu itu, hanya saja aku tak berani bertanya.
“Waktu itu, ketika aku menunggu
temanku di bandara, aku melihatmu. Kau dengan mata berkaca-kaca melepas
kepergian orangtuamu. Dan ketika pesawat yang membawa orangtuamu lepas landas,
kau dengan sekuat tenaga berlari, mencoba untuk mengikuti pesawat itu tanpa
peduli saat itu hujan sedang turun dengan lebatnya. Aku tahu, saat itu kau
sedang menangis. Bukan, bukan air hujan yang membasahi pipimu, tapi itu adalah
air matamu. Dari wajah yang begitu lugu terbalut air mata, ketika itu pula aku
sadar, aku menyukaimu sejak pertama kali melihatmu. Meskipun aku tak yakin
dapat bertemu untuk kedua kalinya denganmu, namun aku mencoba mempercayai
tentang adanya takdir.”
Aku terdiam
membisu, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. Kembali ku
teringat peristiwa di bandara itu. Saat itu, aku masih bersedih berpisah dengan
orangtuaku, namun aku memutuskan untuk
pulang. Saat di dalam taksi, mataku tiba-tiba terpaku pada sesosok laki-laki,
sedang tersenyum menatap hujan, seolah menitipkan harapannya pada rintik hujan
saat itu. “Senyum yang menghangatkan..”Gumamku dalam hati. Deras hujan saat itu
membuat wajahnya samar-samar terlihat. Namun aku baru menyadari, bahwa
laki-laki di bandara itu, postur tubuhnya, caranya menatap, tak salah lagi. Itu
adalah Jerry.
“Ternyata takdir itu benar-benar
terjadi” Seru Jerry memecah lamunanku. “Kau dan aku bertemu kembali di sini,
bukankah itu suatu takdir? Kau percayakan itu?”Lanjut Jerry. Aku hanya terpaku.
“Jadi, putri hujanku.. Maukah kau
menjadi bagian hidupku mulai saat ini?”Tanyanya tiba-tiba yang membuat ku
sedikit terkejut. Tapi hati ini tak bisa berbohong, aku menjawab pertanyaannya
dengan anggukan pelan. Seketika itu tersirat kebahagiaan di wajahnya. Senyuman
itu, persis seperti yang kulihat ketika di bandara, senyum yang menghangatkan
dalam hujan.
***
Tempat
yang hendak kutuju sudah terlihat, akupun segera meminta sopir angkot untuk
menepi. Dan sekarang kembali ku menyusuri jalan yang gersang. Tiba di sebuah
toko bunga, Aku menyempatkan diri untuk singgah, berniat untuk membeli seikat
bunga. Kupikir sudah lama sekali aku tak mendapat bunga darimu, namun untuk
kali ini biarlah aku yang akan memberimu seikat bunga. Mungkin untuk
seterusnya, akulah yang akan terus memberimu seikat bunga.
***
Hujan deras
mengguyur kota jakarta sore itu, rencana yang telah tersusun dengan sangat rapi
pun harus terhenti sementara di sebuah toko bunga.
“Selagi menunggu hujan, ayo kita
masuk ke dalam untuk melihat-lihat.”Ajak Jerry seraya menarikku masuk ke dalam.
Toko bunga itu benar-benar indah dengan
hamparan bunga yang berwarna-warni layaknya
taman bunga. Aku masih terkesima dengan bunga-bunga itu ketika tiba-tiba Jerry
mengejutkanku dari belakang.
“Karena hari ini rencana kita
sedikit berantakan, jadi sebagai gantinya aku akan mempersembahkan seikat bunga Lily ini untukmu. Terimalah putri hujanku..”Serunya sambil mengunjukkan seikat
bunga lily putih yang begitu indah. Sesaat aku tak bisa berkata-kata.
“Jerry, terima kasih, aku sangat
menyukainya.”Ujarku dengan perasaan yang sulit untuk dideskripsikan. Perasaan
yang begitu bahagia.
“Sungguh kau menyukainya? Oke,
mulai sekarang aku akan selalu memberimu bunga agar kau selalu
tersenyum.”Ucapnya. “Entah mengapa di setiap hujan, aku jadi semakin
menyukaimu. Jadi tersenyumlah ketika hujan. Karena ketika hujan turun, saat itu aku pasti sedang memikirkanmu, dan
mengingat senyum manismu, seperti sekarang.”Ucapnya sambil tersenyum hangat
padaku. Akupun membalas senyumannya itu. Dan hujan menjadi saksi betapa
bahagianya aku saat itu.
***
Akhirnya tiba juga aku di sini.
Sunyi, sepi. Hanya bisikan angin kecil yang terdengar berhembus di telingaku.
Perlahan aku kembali melangkahkan kaki, menyusupi kesunyian itu. Entah mengapa
tiap kakiku melangkah , tiap itu pula air mata tanpa sadar menitik di pipiku. Dada
ini begitu sakit tiap berada di tempat ini. Itu karena.. Aku masih belum
sanggup melepasmu pergi.
***
“Selamat Ulang Tahun!!” Terdengar
suaranya sumringah dari ujung telepon sana.
“Hei, ulang tahunku kan besok. Atau
jangan-jangan kau lupa ulang tahunku?” seruku bercanda.
“Astaga.. Sepertinya aku salah melihat tanggal. ”Ucapnya sedikit kecewa.
“Tak apa, karena kau sudah
mengucapkan hari ini, jadi mengapa tidak
kita rayakan saja hari ini, anggap saja tahun ini ulang tahunku lebih cepat
satu hari.”Ujarku menghibur.
“Sungguh? Oke, aku akan segera
tiba di sana dalam 5 menit. Aku janji.”Serunya.
“Oke, Karena kau sudah berjanji,
maka jika kau terlambat kau harus mentraktirku hari ini” Ledekku.
“Siap, Bos!!”Sahutnya seraya
menutup telepon.
Waktu
telah mencapai 5 menit ketika tiba-tiba
hujan turun dengan derasnya. Namun tak ada tanda-tanda kedatangan Jerry.
“Mungkin dia sedang berteduh.” Pikirku dalam hati. Tak lama kemudian teleponku
berbunyi, aku yakin itu pasti dari Jerry. Segera kuangkat telepon itu. Namun
suara itu, itu bukan Jerry. Dan orang dari seberang telepon itu menyampaikan
berita yang membuat badanku seketika menjadi lemas. Jerry kecelakaan. Seketika
aku langsung bergegas menuju rumah sakit, tak peduli hujan saat itu begitu
deras. Aku berharap berita itu hanyalah candaan Jerry untuk hadiah ulang
tahunku. Namun inikah hadiahnya? Kulihat mayat Jerry tergeletak tak bernyawa.
Jerry benar-benar
telah pergi. Apakah karena itu ia mengucapkan selamat ulang tahun padaku lebih
cepat? Karena ia tahu ia akan pergi? Aku tak mampu untuk menyaksikan prosesi
penguburan mayatnya. Aku lemah, dan seketika itu dunia terasa gelap dan aku
tidak mengingat apa-apa lagi. Jatuh pingsan.
***
Langkahku terhenti di sebuah
makam yang bertuliskan nama JERRY ANDIKA PERMATA. Akhirnya aku tiba di sini,
untuk mengunjungimu. “Apa kabarmu sekarang? Apakah kau tenang berada di sana? Hari
ini aku membawakanmu seikat bunga Lily.
Kau senang? Tentu, kau harus tersenyum. Seperti ketika aku tersenyum
saat dulu kau memberiku bunga ini.”
Air mata ini tak dapat
lagi tertahankan, terus mengalir di pipiku. Tiba-tiba aku merasakan butiran air
lain menetes di kepalaku. Hujan. Aku membiarkan diriku basah tersiram hujan. “Kau
selalu bilang, jika hujan turun berarti kau sedang memikirkan dan mengingatku. Apakah
kau sekarang sedang memikirkanku? Aku senang ternyata kau masih mengingatku.
Apakah kau sekarang sedang melihatku untuk melihat senyumku? Tapi maaf, hari
ini aku tak bisa tersenyum padamu saat hujan. Kau ingat, saat pertama kali kita
bertemu. Ternyata kau benar, bukan hujan yang membasahi pipiku, tapi ini adalah
air mataku. Hari ini, hingga sampai kapanpun, meskipun kau tak ada lagi di
sisiku. Aku tak akan pernah melupakanmu. Seperti hujan, yang mempertemukan kita
dalam takdir. Meskipun ia tak seterusnya membasahi bumi, tapi kehadirannya
selalu meninggalkan jejak yang membekas. Untuk itu hadirlah bersama hujan,
membasahi kota Jakarta yang gersang. Dan aku berjanji akan tersenyum di kala
hujan. Karena aku tahu, saat itu kau pasti sedang memikirkanku, dan pasti kau
hadir bersamanya untuk melihat senyumanku . Aku berjanji. Untuk itu
tersenyumlah kau di atas sana dan beristirahatlah dengan tenang, pangeran
hujanku.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar