Jakarta,
2011
Keheningan menyusup dalam malam.
Sepoi-sepoi angin terasa dingin menerpa wajah, menyusup hingga menusuk iga.
Segera ku menutup rapat jaketku, menutupi celah angin yang hendak merambat
masuk menggigilkan tubuhku.
Jika saja sinyal operator ponselku ini tidak rewel, aku dapat dengan santainya menelpon sambil merebahkan tubuh di kasur, atau mungkin sambil duduk santai menonton televisi tanpa harus menantang angin dingin di luar sana, tapi sayangnya sinyal ini tak mau berkompromi, hingga akhirnya aku harus mengalah dan menghabiskan malam akhir pekanku di balkon atas kost untuk mencari sinyal-sinyal kehidupan. Sebenarnya tak tahan rasanya duduk lama di sini, menantang angin yang dinginnya semakin menjadi. Hanya saja suara seseorang di balik layar ponsel ini yang membuatku bertahan melawan dinginnya malam, suara sumringah nan ceria yang selalu menghangatkan suasana.
Jika saja sinyal operator ponselku ini tidak rewel, aku dapat dengan santainya menelpon sambil merebahkan tubuh di kasur, atau mungkin sambil duduk santai menonton televisi tanpa harus menantang angin dingin di luar sana, tapi sayangnya sinyal ini tak mau berkompromi, hingga akhirnya aku harus mengalah dan menghabiskan malam akhir pekanku di balkon atas kost untuk mencari sinyal-sinyal kehidupan. Sebenarnya tak tahan rasanya duduk lama di sini, menantang angin yang dinginnya semakin menjadi. Hanya saja suara seseorang di balik layar ponsel ini yang membuatku bertahan melawan dinginnya malam, suara sumringah nan ceria yang selalu menghangatkan suasana.
“Jadi, bagaimana minggu pertama kuliahmu
di semester baru?” Tanya suara di seberang telepon sana.
“Lumayan menyenangkan, aku sudah mulai
bisa beradaptasi dengan teman-teman baruku” Jawabku. “Bagaimana denganmu? kuliahmu
lancar?” Lanjutku.
“Yah, begitulah, akhir-akhir ini
praktikum beserta laporannya selalu menerorku, jadi maaf ya jika aku hanya sempat
menelponmu di akhir pekan.” Jawabnya.
“Tidak masalah kok dokter cantik..” Godaku.
“Ah,
bisa saja.” Sahutnya disambut tawa kami bersamaan. Aku tiba-tiba membayangkan
sosok sahabatku yang satu ini. Namanya
Aini, Dinda Zahraini lebih lengkapnya. Sering kusebut si bola bekel. Kecil tapi
sungguh lincah. Semangat dakwahnya sungguh tinggi. Dialah dulu yang mengajakku
berkecimpung sebagai aktivis dakwah sekolah. Masih kuingat dulu, saat kami
masih menginjakkan kaki di tahun ajaran pertama di bangku SMA, ia masih dengan
rambutnya yang melambai-lambai tanpa helai jilbab. Namun setahun beranjak, ia
dengan cepat bertransformasi menjadi seorang akhwat yang lembut, dengan jilbab
yang terjuntai lebar. Dan yang membuatku kagum, perubahan itu semua tak
menghalanginya untuk aktif di berbagai organisasi sekolah, bahkan tak
menghalanginya untuk menjabat sebagai pengurus harian OSIS, sebagai tim
penggerak karya ilmiah sekolah, dan berbagai aktivitas lainnya. Tapi diantara semua
aktivitas itu satu yang paling membuatnya bangga, yaitu predikatnya sebagai
“aktivis dakwah sekolah”. Ya, dialah Aini, sahabat terbaikku.
“Kamu sekarang masih aktif di kegiatan
kerohanian Islam, Wa?” Tanya Aini memecah lamunanku.
“Insya Allah masih, Ai. Bagaimana mungkin aku
tidak terjun kembali ke dalamnya di saat lingkungannya sungguh mendukung,
sungguh islami. Kamu tahu? Ikatan ukhuwah di sini sangat erat, bahkan pergerakan
dakwahnya sungguh luar biasa.” Ceritaku dengan penuh semangat.
“Oh ya? Seperti
FDRM1)?” Tanyanya.
“Iya, seperti FDRM, bahkan cakupannya
jauh lebih luas. Kadang aku bernostalgia sendiri terkait cerita-cerita dakwah
kita saat di FDRM dulu. Ketika aku sudah semakin menyelami makna dakwah
sesungguhnya di sini aku sedikit menyesal dulu hanya memberikan kontribusi yang
sangat minim di dakwah SMA kita. Rasanya ingin kembali lagi untuk berkontribusi
perihal dakwah di sana.” Ujarku agak menyesal.
“Tak apa, yang penting sekarang kamu
harus memberikan kontribusimu sebaik-baiknya untuk kemajuan dakwah kampusmu.” Ujar
Aini.
“Insya Allah, Ai. Doakan agar diri ini
bisa istiqomah di jalan-Nya ya..” Seruku.
“Aamiin.”Ujarnya.
“Bagaimana denganmu? Kamu juga masih
aktif?” Aku balik bertanya. Tapi Aini tak menjawab. Sejenak suasana menjadi
hening, tak ada suara dari ujung telepon sana. Kulirik ponselku, takut
tiba-tiba sinyal ini berbuat ulah lagi, tapi jelas terpampang kode full sinyal-sinyal di layar ponselku.
Panggilannya juga masih menyala. Lantas mengapa tak ada suara?
“Ai..” Kupanggil ia. Tapi lagi-lagi tak
ada jawaban. Hening.
“Aku sekarang nggak aktif di aktivitas kerohanian lagi, Wa. aku juga nggak
liqo lagi.” Ucapnya memecah keheningan dan membuatku cukup terdiam
sesaat.
“Aku tahu kamu pasti bertanya-tanya
dalam hati, tapi inilah kenyataannya.” Lanjutnya seakan mampu membaca
pikiranku. “Lingkunganku sekarang ternyata jauh di luar ekspektasiku.
Mahasiswinya yang berjilbab saja bisa dihitung dengan jari. Orang-orang yang
berjilbab lebar sepertiku sering diremehkan. Aku merasa seperti terasingkan,
sehingga aku lebih memilih untuk pasif dari seluruh kegiatan. Bahkan wadah untuk
sekadarnya menampung para aktivis dakwah saja tidak ada, bagaimana mungkin aku
mampu bergerak sendiri. Terlebih lagi, ketika tidak adanya dorongan ruhiyah di
lingkunganku, aku merasa justru diriku sendiri yang menjadi futur.” Tambahnya lirih, terisak,
aku tahu saat ini ia menahan tangis. Aku kenal betul sahabatku yang satu ini,
ia paling pantang dengan kata menyerah, tapi sepertinya kasus yang ia hadapi
sekarang tidak sederhana hingga membuatnya serapuh ini.
“Ukhti
Aini sayang, kamu ingat nggak dulu
saat aku selalu mengeluh tentang kegiatan-kegiatan kita yang hanya dihadiri
sedikit peserta? Kamu selalu bersemangat dan berkata padaku bahwa perjalanan
dakwah itu tidak mudah, panjang jalannya, dan kita harus bersabar dalam
prosesnya. Mungkin itu semua tidak sebanding dengan apa yang ada di
lingkunganmu sekarang. Namun jika aku boleh berpendapat, dengan kondisi yang
ada sekarang, justru mungkin keberadaanmulah yang dibutuhkan, dibutuhkan untuk
menghidupkan semangat ruhiyah di kampusmu.”
“Tapi, Wa.. Aku terlalu pesimis.”
“Aini sahabatku bukanlah seorang yang
pesimis, ia adalah gadis hebat penuh semangat. Ingatlah, ukh. Kamu tidak berjalan sendiri, ada Allah yang selalu bersamamu.”
Jelasku mencoba untuk meyakinkannya.
“Ya, kamu benar, Najwa. Mungkin aku yang
terlalu mudah menyerah di awal jalan. Bahkan sebelum mencoba untuk meniti
langkah di dalamnya.” Ujarnya. “Ah, tiba-tiba
aku merasa bersalah pada kak Aisyah.” Tambahnya.
“Kak Aisyah? Ada apa dengannya?”
Tanyaku. Ya, Kak Aisyah adalah kakak liqo kami dulu. Beliau adalah salah satu
alumni sekolah yang masih aktif sebagai aktivis dakwah di sekolah kami. Ya,
beliaulah yang mengenalkanku akan tarbiyah dan membawaku masuk dalam lingkaran
tarbiyah ini.
“Kemarin aku bertemu Kak Aisyah di
Masjid Mujahidin.” Cerita Aini. “Tapi aku tidak berani menyapanya.” Kudengar
Aini mendesah pelan, seperti terbersit penyesalan dari kata-katanya. “Aku malu
saat itu untuk menemuinya. Dulu aku telah berjanji kepada kak Aisyah untuk
senantiasa menghidupkan semangat dakwah dimanapun aku berada. Tapi..
kenyataannya sekarang aku malah terjatuh dalam jurang kefuturan yang bahkan membuatku menjauh dari lingkaran tarbiyah.” Ucapnya
lirih.
“Menurutku, kamu tidak perlu menghindari
kak Aisyah, justru kesempatan bagus jika kamu bertemu dengannya, bukankah
beliau sudah berpengalaman terkait urusan dakwah? Mungkin kamu bisa
mensharingkan hal ini padanya. Aku yakin, kak Aisyah pasti akan dengan senang
hati membantu.” Jelasku.
“Iya, Wa. Sepertinya nanti aku akan
mengunjungi kak Aisyah, sekalian silaturrahim, sudah lama sekali rasanya tidak bersua dengannya. Aku jadi
merindukan masa liqo kita.” Ujarnya.
“Sama, aku juga.” Tandasku. “Oh iya, ingat nggak kalimatnya kak Aisyah saat liqo dulu yang akhirnya jadi kalimat
favorit kelompok liqo kita.” Ujarku tiba-tiba mengingat sepetik kalimat yang
kiranya mungkin sekarang sedang kami butuhkan untuk menyemangati kami.
“Tentu saja.” Sahutnya.
“Kita adalah si 12 pensil warna, kitalah
yang mewarnai lingkungan dengan aroma Islam, bukan kita yang malah terwarnai.”
Ujar kami serentak.
“Wah, ternyata kita masih hafal.”
Kataku.
“Ya, tentu saja. Mana mungkin kalimat
itu hilang dari ingatanku. Dan sekarang sudah saatnya kalimat itu terjun
langsung untuk kurealisasikan.” Jawabnya mantap.
“Nah, ini baru sahabatku.” Seruku
bangga. “Jika kamu merasa futur, kamu
bisa menghubungiku kapan saja. Kita bisa sharing ilmu agama bersama-sama, aku
pasti akan senang sekali. Bukankah dulu kita adalah partner dakwah? Kenapa sekarang tidak?” Hiburku.
“Iya dong,
hehe.. Terima kasih pencerahannya,
Najwa. Kamu memang sahabat terbaikku. Uhibbuki
fillah4), ukh.. Cepat pulang ke sini ya..” Serunya. Ah, kurasa sekarang akulah yang hendak
menangis, merindukan sosok kecilnya, bola bekelku. Calon dokter masa depan.
“Uhibbuki
fillah too, ukh..” Balasku.
“Ah,
bahasanya kok dicampur-campur. Arab
ya arab, inggris ya inggris.” Komentarnya.
“Biarin
aja, jangan lihat bahasanya, yang penting maknanya.” Sahutku berkilah
disambut gelak tawa kami berdua.
Ya, kata-kata itu, tak akan pernah luruh dari
ingatanku, ingatan kami. Untaian kalimat yang bahkan sekarang sudah mulai
kuresapi maknanya, karena seharusnya kitalah yang mewarnai lingkungan tempat
kita berada, bukan justru kita yang tewarnai. Ya, karena kita adalah si pensil
warna yang akan mewarnai lingkungan kita dengan kebaikan, melukis pelangi Islam
di langit kehidupan dengan warna-warni yang indah.
“Sudah
malam, sebaiknya kamu istirahat, besok pagi kan katanya ada agenda.” Ujarnya
padaku.
“Iya, Minggu depan kita lanjutkan lagi.”
Seruku.
“Tentu saja.” Sahutnya. “Semangat ya
kuliahnya!” Lanjutnya memberi semangat.
“Pasti, kamu juga nggak boleh kalah
semangat ya..” Sahutku ikut memberi semangat.
“Siipp!!, Assalamualaikum ukhti.”
“Wa’alaikumsalam.”
Jawabku seraya mematikan ponsel.
Aku tersenyum seraya memandang panggilan
yang baru saja terputus. Hanya ponsel ini yang menjadi saksi penghubung
ukhuwahku dengannya, sahabat terbaikku.
****
Begitulah minggu-minggu berikutnya,
selalu kusediakan waktu untuk berbagi cerita dengan Aini. Ia sekarang sudah
terlihat bersemangat kembali. Kemarin ia bercerita bahwa ia sering berkunjung
ke SMA kami, ikut berkontribusi bersama kak Aisyah dalam membantu pelaksanaan
mentoring di sana. Dan yang membuatku senang, sekarang ia mulai aktif kembali
dalam kegiatan keorganisasian, dan ia tak mempermasalahkan lagi perihal
jilbabnya yang lebar dan dipandang sebelah mata oleh segelintir orang. Justru
ia bangga dengan jilbabnya, identitasnya sebagai seorang muslimah Islam. Ia
berkata padaku bahwa ia akan membuktikan pada sebagian orang yang meremehkan
jilbabnya bahwa jilbab tersebut tak menghalanginya untuk berprestasi, menggapai
mimpi, tak menghalanginya untuk menjadi dokter yang sukses suatu hari nanti.
Ya, itulah tekadnya yang selalu ia ucapkan padaku disetiap perbincangan kami
via telepon. Ya, kini si bola bekel telah kembali.
****
Pontianak,
2013
“15 menit lagi, kita akan mendarat di
Bandar udara Supadio, Pontianak.” Terdengar suara pramugari menggema di dalam pesawat. Aku
pun segera menutup novel yang sedari tadi menemani penerbanganku. Pontianak,
akhirnya aku kembali lagi kemari. Kuintip jendela, hutan-hutan lebat tampak
laksana zamrud yang membentang di sepanjang khatulistiwa, hijau menyegarkan.
Berpadu bersama sketsa garis sungai-sungai yang menguntai membelah kota. Ah, sungguh betapa Maha Besarnya Yang
Maha Menciptakan segala bumi ini beserta isinya.
Tak terasa aku telah menginjakkan kaki
di Bandar Udara Supadio, kulirik satu persatu orang-orang yang telah berjubel di sepanjang jalan keluar,
mencari sosok yang kukenal. Mataku akhirnya tertuju pada seseorang yang
menggunakan almamater sebuah universitas. Ia melambaikan tangan padaku, aku pun
tersenyum seraya membalas lambaiannya. Setelah mendapatkan koperku dari bagasi,
akupun bergegas keluar menghampirinya. Menyeruak dalam pelukan, melepas rindu.
“Aini, Apa kabarmu? Lama sekali kita
tidak bertemu.” Seruku seraya memeluknya.
“Alhamdulillah baik, Wa. Kamu juga
baik-baik aja kan?” Tanyanya kembali.
Aku mengangguk mengiyakan.
“Seharusnya kamu tak perlu repot-repot
menjemputku ke bandara.” Ujarku.
“Tak masalah, kebetulan aku juga telah selesai dengan kuliahku. Aku kan ingin bertemu dengan sahabatku.” Ujarnya tersenyum. “Kalau begitu ayo kita pergi, pasti orangtuamu sudah menunggu di rumah.” Serunya. Lalu kamipun bergegas pergi, menyongsong rumahku, rumah tercintaku.
“Tak masalah, kebetulan aku juga telah selesai dengan kuliahku. Aku kan ingin bertemu dengan sahabatku.” Ujarnya tersenyum. “Kalau begitu ayo kita pergi, pasti orangtuamu sudah menunggu di rumah.” Serunya. Lalu kamipun bergegas pergi, menyongsong rumahku, rumah tercintaku.
****
Sorenya, Aini mengajakku untuk
mengunjungi kampusnya. Ia bercerita bahwa sekarang ia telah mempunyai banyak
teman yang ia ajak untuk liqo bersamanya, dan Alhamdulillah, sekarang di
kampusnya telah terbentuk komunitas kecil khusus untuk menampung para mahasiswa
yang hendak bergabung sebagai aktivis dakwah kampus, Komunitas Islam Ibnu Rusyd
namanya. Kak Aisyah bersama suami yang membantu mendirikan, bersama beberapa
kenalannya di sana yang merupakan adik binaan suami kak Aisyah. Walaupun
anggotanya belum terlalu banyak, tapi Aini yakin suatu saat nanti Ibnu Rusyd
akan menjadi organisasi besar di kampusnya, yang akan menjadi saksi bahwa dari
kampusnya telah lahir calon-calon dokter hebat masa depan, yang mampu menjadi
pensil-pensil warna di tempat ia akan mengabdi nantinya, mewarnai lingkungan
dengan suasana Islami, dan tentunya bekerja berlandaskan Islam, lillahita’ala. Insya Allah.
****
Jilbabku
bukan sebuah gaya, bukan pula sebuah budaya.
Ia
sebagai simbol ketaatan, kecintaan
seorang muslimah terhadap Rabb nya
Jilbabku
bukan sekedar kain terawang , bukan pula
sehelai selendang
Ia
jatuh terjuntai lebar, tutupi aurat jauhi fitnah yang mengundang
Jika
remaja banggakan kemodisan pakaian dalam pergaulan
Remaja
Islam sederhanakan penampilan dalam ketakwaan
Jika
remaja berlomba aksi di depan kamera,
Cari
ketenaran agar meraih banyak penggemar
Remaja
Islam berlomba aksi dengan berdakwah
Cari
ridho-Nya tuk tegakkan Islam yang benar
Jika
hari datang menjelang, mintakan langkah untuk berjalan
Biarkan
jilbab ini membentang, bawa langkahku dalam kebenaran
Ia
bukan sebagai penghalang, remaja Islam untuk berjuang
Ia
jadikan identitas muslimah harapan, generasi Islam pembawa kemenangan
****
Keterangan :
*FDRM : Forum Dialog Remaja Muslim
*Uhibbukki fillah : Saya mencintaimu (pr) karena Allah
(Anis Fakhrunnisa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar