Sabtu, 28 Desember 2013

Cerpen ~Jilbab Si Pensil Warna~



Jakarta, 2011
Keheningan menyusup dalam malam. Sepoi-sepoi angin terasa dingin menerpa wajah, menyusup hingga menusuk iga. Segera ku menutup rapat jaketku, menutupi celah angin yang hendak merambat masuk menggigilkan tubuhku.
Jika saja sinyal operator ponselku ini tidak rewel, aku dapat dengan santainya menelpon sambil merebahkan tubuh di kasur, atau mungkin sambil duduk santai menonton televisi tanpa harus menantang angin dingin di luar sana, tapi sayangnya sinyal ini tak mau berkompromi, hingga akhirnya aku harus mengalah dan menghabiskan malam akhir pekanku di balkon atas kost untuk mencari sinyal-sinyal kehidupan. Sebenarnya tak tahan rasanya duduk lama di sini, menantang angin yang dinginnya semakin menjadi. Hanya saja suara seseorang di balik layar ponsel ini yang membuatku bertahan melawan dinginnya malam, suara sumringah nan ceria yang selalu menghangatkan suasana.
“Jadi, bagaimana minggu pertama kuliahmu di semester baru?” Tanya suara di seberang telepon sana.
“Lumayan menyenangkan, aku sudah mulai bisa beradaptasi dengan teman-teman baruku” Jawabku. “Bagaimana denganmu? kuliahmu lancar?” Lanjutku.
“Yah, begitulah, akhir-akhir ini praktikum beserta laporannya selalu menerorku, jadi maaf ya jika aku hanya sempat menelponmu di akhir pekan.” Jawabnya.
“Tidak masalah kok dokter cantik..” Godaku.
Ah, bisa saja.” Sahutnya disambut tawa kami bersamaan. Aku tiba-tiba membayangkan sosok  sahabatku yang satu ini. Namanya Aini, Dinda Zahraini lebih lengkapnya. Sering kusebut si bola bekel. Kecil tapi sungguh lincah. Semangat dakwahnya sungguh tinggi. Dialah dulu yang mengajakku berkecimpung sebagai aktivis dakwah sekolah. Masih kuingat dulu, saat kami masih menginjakkan kaki di tahun ajaran pertama di bangku SMA, ia masih dengan rambutnya yang melambai-lambai tanpa helai jilbab. Namun setahun beranjak, ia dengan cepat bertransformasi menjadi seorang akhwat yang lembut, dengan jilbab yang terjuntai lebar. Dan yang membuatku kagum, perubahan itu semua tak menghalanginya untuk aktif di berbagai organisasi sekolah, bahkan tak menghalanginya untuk menjabat sebagai pengurus harian OSIS, sebagai tim penggerak karya ilmiah sekolah, dan berbagai aktivitas lainnya. Tapi diantara semua aktivitas itu satu yang paling membuatnya bangga, yaitu predikatnya sebagai “aktivis dakwah sekolah”. Ya, dialah Aini, sahabat terbaikku.
“Kamu sekarang masih aktif di kegiatan kerohanian Islam, Wa?” Tanya Aini memecah lamunanku.
 “Insya Allah masih, Ai. Bagaimana mungkin aku tidak terjun kembali ke dalamnya di saat lingkungannya sungguh mendukung, sungguh islami. Kamu tahu? Ikatan ukhuwah di sini sangat erat, bahkan pergerakan dakwahnya sungguh luar biasa.” Ceritaku dengan penuh semangat.
“Oh ya? Seperti FDRM1)?” Tanyanya.
“Iya, seperti FDRM, bahkan cakupannya jauh lebih luas. Kadang aku bernostalgia sendiri terkait cerita-cerita dakwah kita saat di FDRM dulu. Ketika aku sudah semakin menyelami makna dakwah sesungguhnya di sini aku sedikit menyesal dulu hanya memberikan kontribusi yang sangat minim di dakwah SMA kita. Rasanya ingin kembali lagi untuk berkontribusi perihal dakwah di sana.” Ujarku agak menyesal.
“Tak apa, yang penting sekarang kamu harus memberikan kontribusimu sebaik-baiknya untuk kemajuan dakwah kampusmu.” Ujar Aini.
“Insya Allah, Ai. Doakan agar diri ini bisa istiqomah di jalan-Nya ya..” Seruku.
“Aamiin.”Ujarnya.
“Bagaimana denganmu? Kamu juga masih aktif?” Aku balik bertanya. Tapi Aini tak menjawab. Sejenak suasana menjadi hening, tak ada suara dari ujung telepon sana. Kulirik ponselku, takut tiba-tiba sinyal ini berbuat ulah lagi, tapi jelas terpampang kode full sinyal-sinyal di layar ponselku. Panggilannya juga masih menyala. Lantas mengapa tak ada suara?
“Ai..” Kupanggil ia. Tapi lagi-lagi tak ada jawaban. Hening.
“Aku sekarang nggak aktif di aktivitas kerohanian lagi, Wa. aku juga nggak  liqo lagi.” Ucapnya memecah keheningan dan membuatku cukup terdiam sesaat.
“Aku tahu kamu pasti bertanya-tanya dalam hati, tapi inilah kenyataannya.” Lanjutnya seakan mampu membaca pikiranku. “Lingkunganku sekarang ternyata jauh di luar ekspektasiku. Mahasiswinya yang berjilbab saja bisa dihitung dengan jari. Orang-orang yang berjilbab lebar sepertiku sering diremehkan. Aku merasa seperti terasingkan, sehingga aku lebih memilih untuk pasif dari seluruh kegiatan. Bahkan wadah untuk sekadarnya menampung para aktivis dakwah saja tidak ada, bagaimana mungkin aku mampu bergerak sendiri. Terlebih lagi, ketika tidak adanya dorongan ruhiyah di lingkunganku, aku merasa justru diriku sendiri yang menjadi futur.” Tambahnya lirih, terisak, aku tahu saat ini ia menahan tangis. Aku kenal betul sahabatku yang satu ini, ia paling pantang dengan kata menyerah, tapi sepertinya kasus yang ia hadapi sekarang tidak sederhana hingga membuatnya serapuh ini.
Ukhti Aini sayang, kamu ingat nggak dulu saat aku selalu mengeluh tentang kegiatan-kegiatan kita yang hanya dihadiri sedikit peserta? Kamu selalu bersemangat dan berkata padaku bahwa perjalanan dakwah itu tidak mudah, panjang jalannya, dan kita harus bersabar dalam prosesnya. Mungkin itu semua tidak sebanding dengan apa yang ada di lingkunganmu sekarang. Namun jika aku boleh berpendapat, dengan kondisi yang ada sekarang, justru mungkin keberadaanmulah yang dibutuhkan, dibutuhkan untuk menghidupkan semangat ruhiyah di kampusmu.”
“Tapi, Wa.. Aku terlalu pesimis.”
“Aini sahabatku bukanlah seorang yang pesimis, ia adalah gadis hebat penuh semangat. Ingatlah, ukh. Kamu tidak berjalan sendiri, ada Allah yang selalu bersamamu.” Jelasku mencoba untuk meyakinkannya.
“Ya, kamu benar, Najwa. Mungkin aku yang terlalu mudah menyerah di awal jalan. Bahkan sebelum mencoba untuk meniti langkah di dalamnya.” Ujarnya. “Ah, tiba-tiba aku merasa bersalah pada kak Aisyah.” Tambahnya.
“Kak Aisyah? Ada apa dengannya?” Tanyaku. Ya, Kak Aisyah adalah kakak liqo kami dulu. Beliau adalah salah satu alumni sekolah yang masih aktif sebagai aktivis dakwah di sekolah kami. Ya, beliaulah yang mengenalkanku akan tarbiyah dan membawaku masuk dalam lingkaran tarbiyah ini.
“Kemarin aku bertemu Kak Aisyah di Masjid Mujahidin.” Cerita Aini. “Tapi aku tidak berani menyapanya.” Kudengar Aini mendesah pelan, seperti terbersit penyesalan dari kata-katanya. “Aku malu saat itu untuk menemuinya. Dulu aku telah berjanji kepada kak Aisyah untuk senantiasa menghidupkan semangat dakwah dimanapun aku berada. Tapi.. kenyataannya sekarang aku malah terjatuh dalam jurang kefuturan yang bahkan membuatku menjauh dari lingkaran tarbiyah.” Ucapnya lirih.
“Menurutku, kamu tidak perlu menghindari kak Aisyah, justru kesempatan bagus jika kamu bertemu dengannya, bukankah beliau sudah berpengalaman terkait urusan dakwah? Mungkin kamu bisa mensharingkan hal ini padanya. Aku yakin, kak Aisyah pasti akan dengan senang hati membantu.” Jelasku.
“Iya, Wa. Sepertinya nanti aku akan mengunjungi kak Aisyah, sekalian silaturrahim, sudah lama sekali rasanya tidak bersua dengannya. Aku jadi merindukan masa liqo kita.” Ujarnya.
“Sama, aku juga.” Tandasku.  “Oh iya, ingat nggak kalimatnya kak Aisyah saat liqo dulu yang akhirnya jadi kalimat favorit kelompok liqo kita.” Ujarku tiba-tiba mengingat sepetik kalimat yang kiranya mungkin sekarang sedang kami butuhkan untuk menyemangati kami. 
“Tentu saja.” Sahutnya.
“Kita adalah si 12 pensil warna, kitalah yang mewarnai lingkungan dengan aroma Islam, bukan kita yang malah terwarnai.” Ujar kami serentak.
“Wah, ternyata kita masih hafal.” Kataku.
“Ya, tentu saja. Mana mungkin kalimat itu hilang dari ingatanku. Dan sekarang sudah saatnya kalimat itu terjun langsung untuk kurealisasikan.” Jawabnya mantap.
“Nah, ini baru sahabatku.” Seruku bangga. “Jika kamu merasa futur, kamu bisa menghubungiku kapan saja. Kita bisa sharing ilmu agama bersama-sama, aku pasti akan senang sekali. Bukankah dulu kita adalah partner dakwah? Kenapa sekarang tidak?” Hiburku.
“Iya dong, hehe.. Terima kasih pencerahannya, Najwa. Kamu memang sahabat terbaikku. Uhibbuki fillah4), ukh.. Cepat pulang ke sini ya..” Serunya. Ah, kurasa sekarang akulah yang hendak menangis, merindukan sosok kecilnya, bola bekelku. Calon dokter masa depan.
Uhibbuki fillah too, ukh..” Balasku.
Ah, bahasanya kok dicampur-campur. Arab ya arab, inggris ya inggris.” Komentarnya.
Biarin aja, jangan lihat bahasanya, yang penting maknanya.” Sahutku berkilah disambut gelak tawa kami berdua.
 Ya, kata-kata itu, tak akan pernah luruh dari ingatanku, ingatan kami. Untaian kalimat yang bahkan sekarang sudah mulai kuresapi maknanya, karena seharusnya kitalah yang mewarnai lingkungan tempat kita berada, bukan justru kita yang tewarnai. Ya, karena kita adalah si pensil warna yang akan mewarnai lingkungan kita dengan kebaikan, melukis pelangi Islam di langit kehidupan dengan warna-warni yang indah.
 “Sudah malam, sebaiknya kamu istirahat, besok pagi kan katanya ada agenda.” Ujarnya padaku.
“Iya, Minggu depan kita lanjutkan lagi.” Seruku.
“Tentu saja.” Sahutnya. “Semangat ya kuliahnya!” Lanjutnya memberi semangat.
“Pasti, kamu juga nggak boleh kalah semangat ya..” Sahutku ikut memberi semangat.
“Siipp!!, Assalamualaikum ukhti.”
Wa’alaikumsalam.” Jawabku seraya mematikan ponsel.
Aku tersenyum seraya memandang panggilan yang baru saja terputus. Hanya ponsel ini yang menjadi saksi penghubung ukhuwahku dengannya, sahabat terbaikku.

****
Begitulah minggu-minggu berikutnya, selalu kusediakan waktu untuk berbagi cerita dengan Aini. Ia sekarang sudah terlihat bersemangat kembali. Kemarin ia bercerita bahwa ia sering berkunjung ke SMA kami, ikut berkontribusi bersama kak Aisyah dalam membantu pelaksanaan mentoring di sana. Dan yang membuatku senang, sekarang ia mulai aktif kembali dalam kegiatan keorganisasian, dan ia tak mempermasalahkan lagi perihal jilbabnya yang lebar dan dipandang sebelah mata oleh segelintir orang. Justru ia bangga dengan jilbabnya, identitasnya sebagai seorang muslimah Islam. Ia berkata padaku bahwa ia akan membuktikan pada sebagian orang yang meremehkan jilbabnya bahwa jilbab tersebut tak menghalanginya untuk berprestasi, menggapai mimpi, tak menghalanginya untuk menjadi dokter yang sukses suatu hari nanti. Ya, itulah tekadnya yang selalu ia ucapkan padaku disetiap perbincangan kami via telepon. Ya, kini si bola bekel telah kembali.
****
Pontianak, 2013
“15 menit lagi, kita akan mendarat di Bandar udara Supadio, Pontianak.” Terdengar  suara pramugari menggema di dalam pesawat. Aku pun segera menutup novel yang sedari tadi menemani penerbanganku. Pontianak, akhirnya aku kembali lagi kemari. Kuintip jendela, hutan-hutan lebat tampak laksana zamrud yang membentang di sepanjang khatulistiwa, hijau menyegarkan. Berpadu bersama sketsa garis sungai-sungai yang menguntai membelah kota. Ah, sungguh betapa Maha Besarnya Yang Maha Menciptakan segala bumi ini beserta isinya.
Tak terasa aku telah menginjakkan kaki di Bandar Udara Supadio, kulirik satu persatu orang-orang yang telah berjubel di sepanjang jalan keluar, mencari sosok yang kukenal. Mataku akhirnya tertuju pada seseorang yang menggunakan almamater sebuah universitas. Ia melambaikan tangan padaku, aku pun tersenyum seraya membalas lambaiannya. Setelah mendapatkan koperku dari bagasi, akupun bergegas keluar menghampirinya. Menyeruak dalam pelukan, melepas rindu.
“Aini, Apa kabarmu? Lama sekali kita tidak bertemu.” Seruku seraya memeluknya.
“Alhamdulillah baik, Wa. Kamu juga baik-baik aja kan?” Tanyanya kembali. Aku mengangguk mengiyakan.
“Seharusnya kamu tak perlu repot-repot menjemputku ke bandara.” Ujarku.
“Tak masalah, kebetulan aku juga telah selesai dengan kuliahku. Aku kan ingin bertemu dengan sahabatku.” Ujarnya tersenyum. “Kalau begitu ayo kita pergi, pasti orangtuamu sudah menunggu di rumah.” Serunya. Lalu kamipun bergegas pergi, menyongsong rumahku, rumah tercintaku.
****
Sorenya, Aini mengajakku untuk mengunjungi kampusnya. Ia bercerita bahwa sekarang ia telah mempunyai banyak teman yang ia ajak untuk liqo bersamanya, dan Alhamdulillah, sekarang di kampusnya telah terbentuk komunitas kecil khusus untuk menampung para mahasiswa yang hendak bergabung sebagai aktivis dakwah kampus, Komunitas Islam Ibnu Rusyd namanya. Kak Aisyah bersama suami yang membantu mendirikan, bersama beberapa kenalannya di sana yang merupakan adik binaan suami kak Aisyah. Walaupun anggotanya belum terlalu banyak, tapi Aini yakin suatu saat nanti Ibnu Rusyd akan menjadi organisasi besar di kampusnya, yang akan menjadi saksi bahwa dari kampusnya telah lahir calon-calon dokter hebat masa depan, yang mampu menjadi pensil-pensil warna di tempat ia akan mengabdi nantinya, mewarnai lingkungan dengan suasana Islami, dan tentunya bekerja berlandaskan Islam, lillahita’ala. Insya Allah.
****




Jilbabku bukan sebuah gaya, bukan pula sebuah budaya.
Ia sebagai simbol ketaatan, kecintaan  seorang muslimah terhadap Rabb nya
Jilbabku bukan sekedar kain terawang , bukan pula  sehelai selendang
Ia jatuh terjuntai lebar, tutupi aurat jauhi fitnah yang mengundang
Jika remaja banggakan kemodisan pakaian dalam pergaulan
Remaja Islam sederhanakan penampilan dalam ketakwaan
Jika remaja berlomba  aksi di depan kamera,
Cari ketenaran agar meraih banyak penggemar
Remaja Islam berlomba aksi dengan berdakwah
Cari ridho-Nya tuk tegakkan Islam yang benar
Jika hari datang menjelang, mintakan langkah untuk berjalan
Biarkan jilbab ini membentang, bawa langkahku dalam kebenaran
Ia bukan sebagai penghalang, remaja Islam untuk berjuang
Ia jadikan identitas muslimah harapan, generasi Islam pembawa kemenangan

****
Keterangan :
*FDRM   : Forum Dialog Remaja Muslim
*Uhibbukki fillah : Saya mencintaimu (pr) karena Allah

  (Anis Fakhrunnisa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar