Kadang seorang teman memanggil kita kemudian mengajak menepi ke
tempat yang agak sepi. Agak berbisik ia berkata, “Mbak maaf, kerudungnya
carang..” Atau, “Maaf Mbak, itu gamisnya menerawang.. didobel lagi
dengan rok warna gelap Mbak..”
Fenomena gamis, daster, kerudung (khimar), rok, atau celana panjang
yang menerawang ketika terterpa sinar matahari sepertinya menjadi
rahasia umum, terlebih lagi di kalangan laki-laki. Coba saja sekali
waktu kita tanyakan pada suami, ayah, adik atau kakak lelaki kita,
agaknya bukan sekali dua kali mereka gelisah lantaran melihat
saudari-saudari muslimahnya tertampakkan siluet tubuhnya oleh mentari.
Bahkan terkadang karena bahan yang tipis dan jatuh, corak pakaian
dalamnya pun nampak. Semoga Allah mengampuni dan memperbaiki kita.
Aamiin.
Ya. Jauh-jauh hari, saat wahyu masih terus bergulir, fenomena pakaian
transparan atau menerawang ini ternyata sudah ada. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Khimar adalah sesuatu yang dapat menyembunyikan kulit dan rambut.”
Kadang pula bahan pakaian bisa jadi sudah tebal, namun sangat halus
dan jatuh sehingga melekat pada tubuh atau ukurannya yang terlampau
sempit, sehingga menampakkan lekuk-lekuk tubuh pemakainya.
Dalam kasus
ini ada kisah serupa yang terjadi pula pada zaman awal Islam, Usamah bin
Zaid berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepadaku, ‘Mengapa engkau tidak mengenakan baju Qubthiyah yang telah
kuberikan?’ ‘Aku memberikannya kepada istriku,’ jawabku. Maka
beliau berpesan, ‘Perintahkanlah istrimu agar memakai pakaian bagian
dalam sebelum mengenakan baju Qubthiyah itu. Aku khawatir baju itu akan
menggambarkan lekuk tubuhnya.’” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi, hasan).
Teringat juga kepada seorang saudari muslimah yang selalu konsisten
memakai celana panjang dan rok berwarna gelap dibalik gamisnya.
Sepertinya ia sadar betul terhadap sang mentari yang sering menemani
dengan terpaan sinarnya ketika ia beraktivitas di luar rumah. Ia juga
paham bahwa sangat mungkin dirinya mengambil sikap duduk yang salah
ketika duduk di kantin kampus, di kelas, entah sambil menumpakkan kaki
atau melebarkannya, atau misal saat duduk bersila di pelataran masjid,
ketika duduk memakai kembali sepatu setelah menunaikan shalat, dll.
Jika tidak memakai celana panjang tentu sikap duduk yang sembarangan
beresiko terlihatnya aurat kita. Sementara rok berwarna gelap dapat
melindungi siluet kita dari terpaan matahari. Ilmu-ilmu praktis seperti
ini memang jarang ditemui di buku, butuh kepekaan dan kemauan. Dan
ukhtina ini berhasil dengan konsistensinya. Konsistensi yang diam-diam
membuat siapapun sungkan dan memberi hormat padanya.
Di tengah tren mode hijab hari ini -yang di satu sisi sangat
menggembirakan- ada baiknya jika para muslimah memberanikan diri melihat
kembali akar umbi hijab, jilbab, kerudung, dan aurat. Karena sudah kita
mafhumi bersama, baju-baju untuk pangsa muslimah yang disediakan pasar,
banyak yang perlu dicermati dan disesuaikan kembali dengan aturan
syariat mengenai kerudung, jilbab, dan aurat tadi. Kita bisa
membaca-baca buku yang tepat mengenai pembahasan itu atau bisa pula
bertanya pada para ahli ilmu.
Bijak juga rasanya setelah kita merasa cukup dengan jilbab dan
kerudung kita, kita berjalan ke arah yang cahaya/tempat yang lebih
terang kemudian bertanya pada ibu, kakak, suami, atau sahabat kita,
“Tolong dilihat dong, gamisku menerawang gak?” Insya Allah dengan senang
hati mereka akan setulus dan sejujurnya menjawab. Orang-orang yang
mencintai kita tentu tak akan tega kita membiarkan kita keluar dengan
berbaju namun sesekali tertelanjangi oleh mentari. Wallahua’lam bish
shawab.
Referensi:
Artikel Berjudul Syarat-Syarat Jilbab dalam situs Muslimah.or.id.
http://muslimahzone.com/ditelanjangi-matahari/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar