Selasa, 22 November 2016

Fiction [Part 2]



TAKDIR YANG BERGESER


Namaku Qisya Arumi. Kebanyakan orang memanggilku Qisya, hanya orang-orang terdekat khususnya keluarga yang sering memanggilku Rumi.  Aku baru saja menamatkan gelar sarjanaku di salah satu perguruan tinggi kedinasan di Jakarta. Bagi kebanyakan orang, momentum kelulusan merupakan salah satu bagian yang paling menyenangkan dalam perjalanan hidup ini. Begitu pula aku. Setelah mati-matian mengikuti perkuliahan yang mata kuliahnya bikin pengen gantung diri karena susahnya melewati batas normal, ditambah tugas yang jumlahnya seabrek dan bikin pengen mual-mual, dan diakhiri dengan skripsi yang diselesaikan dengan perjuangan berdarah-darah, tentu saja momen kelulusan jadi waktu yang paling ditunggu-tunggu. Dan yang paling penting, akhirnya status sebagai “mahasiswa rantauan” sebentar lagi akan berakhir.
Sebagai seorang perantau yang telah terpisah pulau sekian tahun dari keluarga tentu memiliki keinginan besar untuk pulang. Dan tentu saja, senyaman apapun kota metropolitan ini, akan selalu ada cita rasa yang berbeda dengan kota tempatku dilahirkan, Pontianak. Apapun itu, dalam hal apapun, dan bagian terpentingnya adalah, ada kedua orangtua yang membesarkanku dan ada adik-adik yang selalu riang gembira mengisi hari-hariku disana. Ya, mungkin merekalah alasanku untuk kembali.
Akan tetapi, euphoria kelulusan yang begitu menggembirakan itu hanya bisa dinikmati sesaat. Ya, hanya sesaat. Sebagai mahasiswa kedinasan, bersedia ditempatkan dimana saja di seluruh Indonesia telah menjadi perjanjian pertama dan utama di kampus abu-abu ini. Sebenarnya keinginanku tak muluk-muluk, yang terpenting adalah aku hanya ingin dekat dengan mereka, dengan mereka yang telah kutinggalkan selama empat tahun untuk mengenyam pendidikan demi mendapatkan gelar sarjana ini. Mereka yang telah kutinggalkan, dan telah kujanjikan akan kuganti masa 4 tahun itu dengan hidup bersama mereka hingga mereka bahagia. Aku hanya ingin pulang. Nyatanya, keinginan yang sederhana itu tak dapat diwujudkan. Entahlah, mungkin itu memang bukan keinginan sederhana, hampir lima ratusan teman senasibku yang lainnya juga menginginkan hal yang sama. Dan tentu saja keinginan sederhana untuk satu orang itu, akan menjadi suatu hal rumit yang sulit diwujudkan bagi penentu kebijakan, apalagi untuk mewujudkan kelima ratus keinginan tersebut.
Aku yang mungkin dengan mudahnya menyepelekan takdir yang aku baru sadari ternyata dapat bergeser sewaktu-waktu. Dan ketika pengumuman itu keluar, aku hanya bisa menghela nafas, meringis, hendak menyesali nasib, atau semacam menyalahkan takdir? Hatiku menenangkan, tapi pikiranku memberontak. Ah, langkah kakiku berat. Pikiranku kosong. Semua harapan seketika runtuh. Tak ada bayangan apapun yang terlintas. Yang kutahu adalah, dalam pikiran, ingatan, serta dalam penglihatan semuku, aku melihat rumahku dan mereka yang berada di dalamnya bergerak, semakin jauh, jauh dan menjauh, kemudian hilang, pergi meninggalkanku. Tidak, lebih tepatnya aku yang meninggalkannya, aku yang meninggalkan mereka. Dan lagi-lagi, aku harus menyediakan pil amnesia kembali untuk melupakan angan-angan tentang “hidup di rumah”. Aku harus kembali menyediakan pisau untuk menghunus dengan tega rindu yang akan semakin sering menderaku. Ah aku benci ini. Lagi-lagi ku mengutuk diri sendiri, dan menjejal diriku dengan serbuan kata “andaikan”. Ya, andaikan saja dulu aku belajar lebih giat, andaikan saja aku dulu bersungguh-sungguh dan meraih IPK tertinggi, atau kata “andaikan” sadis lainnya, yaitu, “ah andaikan aku dulu tidak bersikeras merantau dan bersekolah disini, mungkin aku tidak akan pernah meninggalkan keluargaku.” Sayangnya andaikan-andaikan itu memang hanya berupa pengandaian yang selalu bersembunyi di awal dan muncul tiba-tiba di akhir. Ia tak menyelesaikan apapun, tak menjawab apapun, sama sekali tidak.
Perlahan aku hanya bisa berjalan menyusuri takdir yang entah akan membawaku kemana. Hanya kata maaf yang bisa kuhanturkan dalam kepada kedua orangtuaku tatkala menelponku hari itu. “Maaf, Rumi belum bisa pulang ke rumah, belum bisa mengabdi untuk bapak dan ibuk. Rumi belum bisa memberikan kehadiran utuh Rumi di rumah.”
“Tidak apa-apa, sayang. Ibu paham. Kebijakan tetap kebijakan. Yakin saja insyaAllah ada hikmah di balik semua ini. Ibuk sama bapak mendoakan yang terbaik buat Rumi. Semoga Allah selalu menjaga Rumi dan melindungi setiap langkah Rumi. Semoga Rumi selalu dilimpahkan kebaikan. Insya Allah ibu sama bapak baik-baik saja disini. Rumi jangan khawatir.” nasehat ibu seraya menenangkanku.
Aku yang telah mencoba tegar sedari tadi akhirnya goyah juga. Ibu tidak kecewa, malah menguatkanku. Aku yang mungkin begitu kalut dan rapuh. Ah, air mata ini, mengapa dia menjatuhkan diri. Aku tak kuasa menahannya. Hari itu kutumpahkan segalanya, segala yang menyesakkan. Iya, semua akan baik-baik saja, pikirku. Tapi sayang, kadang praktik tak semudah teori. Aku tak tahu apakah aku akan benar-benar baik-baik saja nanti, aku tak tahu. Sungguh aku benar-benar tak tahu. Yang kutahu hanya, aku harus menjalani ini dan tak dapat mengelakkannya. Aku harus kuat, jikapun aku tak kuat, aku akan mencoba berpura-pura kuat, agar hidup tak akan mempermainkan aku yang lemah ini. 

*****
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar