Jumat, 30 November 2012

Cerpen ~Cinta Ayah, untuk Cinta~ (Part 1)


Anak ini, kuberi nama Cinta Kiara. Kiara yang merupakan gabungan dari nama kita, Lucki dan Tiara, dan kububuhi nama Cinta agar kelak kau rawat anak kita ini dengan penuh Cinta…

*****

        Jam masih menunjukkan pukul 05.30. Embun pagi masih berdekap pada dedaunan hijau. Semilir angin masih terasa sejuk menusuk iga, namun aku telah bersiap-siap hendak pergi ke sekolah. Mungkin bagi kebanyakan orang, waktu ini masih terasa awal untuk berangkat sekolah, tapi tidak bagiku. Aku sekarang harus mengejar waktu jika aku tak ingin terlambat. Kali ini, aku tak boleh terlambat, aku tak ingin melewatkan kesempatan yang selalu aku tunggu. Aku pun bergegas menuruni anak tangga rumahku. Namun, belum selesai aku menuruni tangga, telah kudengar suara mesin mobil. Aku pun segera berlari sekencang mungkin keluar rumah. Namun terlambat, mobil itu kini tlah melaju pergi. Segera kukayuh sepedaku sekencang mungkin dan berharap dapat mengejar mobil yang tlah melaju sejak tadi.
      Telah hampir separuh jalan tlah kulewati, tapi tetap tak dapat kutemukan jejak mobil itu. Kembali kutertunduk sedih. Hari ini, seperti hari-hari biasanya. Lagi-lagi aku tak dapat mencium tangan ayah sebelum berangkat sekolah. Aku tak tahu mengapa ayah berangkat kerja begitu awal. Awalnya aku pikir karena ada pasien darurat yang menunggu ayah di rumah sakit untuk meminta pertolongan medis. Tapi, hari-hari berikutnya ayah juga tetap selalu berangkat pagi. Apakah mungkin setiap hari selalu ada saja pasien darurat? Kupikir tidak, berarti ada alasan lain yang membuat ayah selalu berangkat kerja pagi-pagi sekali. Aku pun tak tahu. Aku sempat berpikir, apakah mungkin ayah sengaja menghindar dariku? Tapi mengapa?  Hari ini, aku usahakan untuk bersiap ke sekolah begitu awal, hanya untuk mencium tangan ayah dan memohon restu agar aku dapat mengikuti Ujian Sekolah dengan lancar. Tapi tetap saja usahaku sia-sia, lagi-lagi aku terlambat untuk bertemu dengan ayah. 
      Aku tak tahu mengapa ayah begitu membenciku. Apakah aku tidak pantas menjadi anaknya? mengapa? Terkadang aku menyesali mengapa harus terlahir ke dunia ini jika nasibku harus sedemikian pahitnya. Aku ingin seperti anak lainnya yang selalu mendapat kasih sayang dari kedua orangtuanya. Bahkan sejak terlahir ke dunia ini pun tak pernah sekalipun kukenal sosok yang bernama ibu, apalagi disayang dan dimanja oleh seseorang yang katanya adalah malaikat pelindung tanpa sayap ini. Kata Bi Minah, ibuku adalah seorang yang cantik dan baik hati. Namun ada sesuatu yang salah pada ibu sehingga membuat banyak orang begitu membencinya, termasuk ayah. Aku tak mengerti mengapa ayah membenci ibu, jika ibu orang yang baik, seharusnya ayah menyayanginya, bukan membencinya. Jangankan untuk mengenang ibu, mendengar nama ibu saja ayah sudah muak. Entahlah akupun tak mengerti, setiap aku ingin bertanya akan hal itu, ayah selalu membentakku dan memandangku penuh kebencian. Aku juga telah mencoba bertanya pada Bi Minah, namun Bi Minah selalu berkata bahwa aku akan mengetahuinya suatu saat kelak.

*****

      Hari ini, sama seperti biasanya, hampa tiada warna. Aku hanya terdiam sendiri di rumah mewah ini. Terkadang orang memandang takjub padaku, bisa hidup dan tinggal di rumah yang sedemikian mewah layaknya istana. Tentu saja mereka berpikir di dalamnya aku layaknya seorang putri raja yang hidupnya bergelimang harta. Mengapa tidak? Aku adalah putri dari seorang Dokter Lucki, salah satu dokter terkenal yang memiliki sebuah rumah sakit terbesar di kotaku. Pastinya aku dapat meminta apapun semauku .Tapi, andaikan saja mereka tahu, bahwa semua pikiran dan gambaran yang mereka tujukan padaku berbanding terbalik dengan kehidupan yang aku alami. Aku, walaupun hidup dalam kemewahan dan gemerlap harta disekelilingku. Tapi, tak pernah sekalipun aku menyentuh bahkan merasakan kenikmatan itu, tak pernah. Akupun lantas teringat kejadian beberapa waktu silam.
“Cinta...!!” Ayah menegurku dengan nada meninggi ketika aku menonton televisi. Akupun sontak terkejut kala mendengar suara ayah dan seketika aku langsung berdiri menghadap ayah.
“Kamu.. apa tidak ada kerjaan selain membuang uang? Kamu tahu tidak berapa banyak listrik yang terbuang percuma dengan menonton televisi? berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan jika pemakaian listrik terlalu berlebihan? Kamu sanggup membayar biaya pemakaian listrik di rumah ini?” seru ayah padaku.
“Tapi ayah...”aku mencoba membela diri di depan ayah. “Cinta hanya....” belum selesai aku berbicara, ayah tiba-tiba memotong ucapanku.
“Stop, jangan banyak bicara kamu. Kamu itu tidak pernah berpikir kan betapa susahnya mencari uang. Kamu hanya santai dan bermalas-malasan di rumah. Tapi tidak heran, tentu saja kamu tidak bisa berpikir, sama seperti ibu kamu, yang tidak pernah memikirkan apa yang ia perbuat. Hanya mencari kesenangan semata. Tidak menyangka sifatnya itu juga ada pada anak perempuannya.”
Kata-kata ayah benar-benar membuat hatiku rapuh. Sesaat aku tertunduk sedih menahan butiran air mata yang hendak jatuh dari kelopak mataku. Apakah sedemikian besarnya kesalahan yang telah kuperbuat hingga ayah berkata seperti itu padaku? Aku sebisa mungkin tlah mencoba untuk tidak menangis, namun akhirnya air mata ini jatuh jua, mengalir hangat membasahi pipiku. Segera aku berlari masuk ke kamar dan menumpahkan semua kesedihanku. 
       Aku menghela nafas panjang kala teringat peristiwa itu. Pikiranku jauh menerawang. Apakah sesungguhnya yang telah terjadi sehingga ayah begitu membenciku. Sesaat aku memejamkan mata, mencoba terlelap dalam buaian mimpi, dan kembali mencoba menjelajahi jawaban apakah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terus berjejalan di otakku. Namun, belum sempat aku menemukan jawaban itu, tiba-tiba terdengar suara mobil ayah memasuki garasi. Perlahan ku mengintip dari tirai jendelaku yang menghadap ke arah teras rumah, tepat bersebelahan dengan garasi. Kuperhatikan wajah ayah, tampak guratan kelelahan menghiasi wajahnya. Aku tahu tugas seorang dokter tidaklah mudah. Dalam sehari tentu selalu saja ada orang yang membutuhkan uluran tangan ayah. Tangan itu, tangan yang telah menyelamatkan ribuan nyawa manusia, ingin sekali aku menyentuhnya dan menciumnya sebagai tanda bakti dan kasih sayangku kepada ayah. Dalam setiap shalatku, aku selalu memanjatkan doa kepada Ya Rabb  agar suatu saat kelak aku dapat menggengam tangan ayah, memeluk tubuhnya dan merasakan kasih sayang darinya.
      Tak terasa lagi-lagi air mata ini mengalir tenang di pipiku. Butiran bening ini, ntah kapan kan berhenti mengalir, dan mendekap diam tanpa ada hasrat ingin jatuh dari pelupuk mataku.
 
*****

     Fajar tlah menyingsing hari. Mentari mulai tersenyum merona di ufuk timur. Hari ini, ingin kembali kusapa pagi dengan semangat hendak bertemu ayah. Namun, entah mengapa, pagi ini aku merasa lain dari biasanya. Badanku hangat, bukan karena pantulan cahaya hangat mentari dari jendela kamarku, bukan pula karena sel darah putih yang berperang melawan antigen hingga terjadilah demam. Aku merasa kali ini penyakitku cukup serius bukan sekedar demam biasa. Entah apa yang terjadi dalam tubuhku. 
      Sesaat aku hendak bangun, mencoba untuk bangkit melawan rasa sakitku. Namun usaha itu sia-sia, kepalaku terasa berat bak menyangga batu berton-ton. Badanku lemah, selemah dedaunan yang pasrah tertiup angin. Penglihatanku mulai kabur, semua yang ada disekitarku mulai menghilang dari penglihatanku. Yang kutahu, kulihat Bi Minah muncul di ambang pintu membawakan sarapan untukku, dan setelah itu semua menjadi gelap. Akupun terlarut dalam sisi dunia yang hampa dan gelap yang tak bisa kurasakan kehadirannya.
“Non Cinta udah sadar?” seru Bi Minah ketika kumembuka mataku.
“Cinta di mana, Bi?”tanyaku lemah.
“Non Cinta ada di klinik Permata Indah. Dari kemarin non Cinta tidak sadarkan diri. Bibi khawatir sekali sama non.”cemas Bi Minah.
Kuperhatikan jarum infus  merekat di tanganku. Bau obat-obatan mulai masuk menusuk hidungku membuat asam lambung dalam tubuhku bergejolak. Aku hendak bangun namun Bi Minah melarangku. Akupun tak dapat berbuat apa-apa kecuali menuruti Bi Minah karena kondisiku yang memang lemah.
“Non Cinta istirahat saja, ya.. Biar nanti cepat sembuh.”kata Bi Minah.
“Iya, Bi.. Makasih ya, Bi, udah ngerawat Cinta.” ucapku sambil tersenyum simpul. Lalu sesaat aku teringat ayah. Tak ada tanda-tanda akan hadirnya ayah di sini. “Oh iya, Bi.. Ayah di mana?” tanyaku pada Bi Minah.
“Tuan sedang kerja, Non..”
“Apakah ayah pernah datang menjenguk Cinta, Bi?”
“Eh.. Eh.. Belum sih, Non.. mungkin ayah non Cinta lagi banyak pasien di rumah sakit makanya belum sempat kemari. Tapi bibi yakin tuan pasti datang menjenguk non Cinta di sini. Non Cinta kan anak Tuan Lucki yang cantik.” hibur Bi Minah.
Akupun tersenyum. Walaupun aku tahu Bi minah hanya menghiburku, namun aku terus berharap ayah ada di sini menemaniku.
*****
     Hari ini, akhirnya aku dapat kembali ke rumah, kembali dapat merasakan udara segar yang selama seminggu ini tergantikan oleh bau sesak obat-obatan. Aku masih bingung. Mengapa aku dirawat di klinik ini sementara ayah memiliki rumah sakit? Apalagi ayah adalah salah satu dokter di sana. Bukankah akan lebih baik jika ayah sendiri yang mengobatiku. Terlebih lagi jika aku dirawat di rumah sakit ayah, tentu ayah akan lebih mudah menjengukku meskipun disela-sela kesibukannya, karena kami berada di rumah sakit yang sama. Tapi mengapa aku justru berada di klinik ini? Apakah ayah tidak mau mengobatiku? Lalu apakah guna aku mempunyai ayah seorang dokter? Terkadang aku berpikir, apakah mungkin ayah ingin menjauh dariku? Apakah ayah tidak ingin mengakuiku sebagai anaknya? Entahlah, beribu pertanyaan muncul di pikiranku tanpa ada jawaban pasti yang dapat kutemui.
“Non Cinta udah siap?” tiba-tiba Bi Minah muncul di ambang pintu.
“Sudah, Bi.”jawabku tersenyum.
“Kalo begitu, ayo kita pulang. Ayah non Cinta pasti udah menunggu di rumah.” Lagi-lagi Bi Minah menghiburku.
“Iya, Bi.. Cinta juga sudah tak sabar ingin bertemu ayah.” Aku kembali tersenyum kepada Bi Minah. Aku tahu apa yang dikatakan Bi Minah tidaklah mungkin terjadi, Namun sebisa mungkin aku juga mencoba menghibur diri agar tidak terlalu larut dalam kesedihan.
Sebuah angkot berhenti di depan kami tepat ketika gerimis hujan mulai memayungi seluruh jagad raya. Aku dan Bi Minah segera naik ke dalam angkot untuk menghindari pasukan hujan yang hendak menyerang kami. Angin dingin berhembus kencang menggelitiki bulu romanku. Biasan hujan dari kaca jndela angkot, sedikit mengenai wajahku hingga membuat aku menggigil kedinginan. Namun aku tak peduli, yang aku pikirkan sekarang adalah segera pulang ke rumah dan bertemu dengan ayah. Mungkin saja perkataan Bi Minah benar, ayah sedang menungguku di rumah. Aku sudah tidak sabar ingin segera bertemu ayah dan berharap kali ini dapat memeluk tubuhnya dan mendapat kasih sayang darinya. 

*****

Angkot berhenti tepat di depan sebuah rumah berpagar putih yang tinggi menjulang seolah-olah hendak menutupi kemewahan yang ada di dalamnya. Setelah menyerahkan selembar uang lima ribuan, aku dan Bi Minah turun dari angkot. Bi Minang menggotongku masuk ke rumah. Ketika Bi Minah hendak membuka pintu, bersamaan dengan itu pula lah ayah juga hendak keluar rumah. Sekilas mataku dan ayah saling bertemu. Aku berharap dapat mendapatkan sebuah kasih sayang dari pancaran mata ayah yang bening, berharap kepastian bahwa ayah akan mulai menyayangiku sejak saat ini. Namun apa yang kuharapkan tak kunjung kudapatkan. Ayah lalu memalingkan muka seolah tak acuh akan kehadiranku.
“Rawat dia, Bi. Jangan sampai membuatku susah.” ucap ayah singkat.
“Baik, Tuan..” angguk Bi Minah sambil mengajakku masuk ke dalam rumah. Namun kaki ini tak dapat kugerakkan. Terdiam di sini, bersama seribu tanda tanya yang terus bergejolak di dadaku. Sebuah tanda tanya besar tentang ayah. Akupun mencoba memberanikan diri untuk angkat bicara.
“Ayah... Apakah ayah tidak ingin sekali saja merawat Cinta? Cinta anak ayah, tapi mengapa ayah tidak pernah sama sekali memperlakukan Cinta layaknya yang dilakukan setiap ayah kepada anaknya?”
Ayah terdiam sejenak. Bi Minah mencoba membawaku masuk, tapi aku tetap berdiri tegak di sini menanti jawaban apa yang akan keluar dari mulut ayah.
“Untuk apa? Kamu jangan jadi anak manja. Banyak pekerjaan yang harus ayah selesaikan selain mengurus kamu. Lagian, sudah ada Bi Minah yang menjagamu, jadi untuk apa ayah harus turun tangan lagi.”
“Tapi ayah... apakah tidak bisa sekali saja ayah meluangkan waktu untuk Cinta? Cinta ingin seperti anak lainnya, yang selalu mendapatkan perhatian dan cinta kasih dari kedua orang tuanya. Tapi sejak lahir hingga sekarang, tak pernah sekalipun Cinta merasakan kasih sayang dan belaian halus dan hangat dari tangan ayah maupun ibu. Apakah salah jika Cinta mengharapkan itu semua?” seruku pada ayah. Aku tak kuasa lagi menyimpan semua gundah hati yang terus bergejolak tak mau padam. Tak tahan lagi memendam gejolak hati yang terus meronta-ronta seakan ingin berderu untuk keluar.
“Karena kamu berbeda dari yang lainnya.” tiba-tiba ayah angkat bicara. “Kamu tidaklah sama seperti anak yang lain. Kamu, ada alasan yang membuatku takkan pernah sekalipun akan menyayangimu. Andaikan kau terlahir layaknya seperti anak yang lain, dilahirkan dengan cinta dan penuh kejelasan, mungkin semua takkan begini jadinya. Tentu aku akan hidup bahagia, bersama keluarga yang bahagia pula. Meniti kehidupan bersama dengan penuh cinta tanpa ada sedikitpun rasa kebencian. Tapi semua kini tlah musnah, dan kau ada di sini semakin menambah bebanku. Jadi, jangan pernah sekalipun meminta sesuatu dariku, karena yang kau dapatkan adalah nihil.” jelas ayah sembari pergi meninggalkanku sendiri dengan penuh tanda tanya di hati. Apa maksud perkataan ayah? Apa yang beda dariku? Kini muncul beragam pertanyaan baru yang semakin memenuhi memori otakku. Aku harus menemukan semua jawaban atas pertanyaan yang semakin lama semakin membuatku terpuruk ini.
*****

be continued....
       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar