Anak ini, kuberi nama Cinta Kiara. Kiara yang merupakan gabungan dari nama
kita, Lucki dan Tiara, dan kububuhi nama Cinta agar kelak kau rawat anak kita
ini dengan penuh Cinta…
*****
Jam masih menunjukkan pukul 05.30. Embun pagi masih
berdekap pada dedaunan hijau. Semilir angin masih terasa sejuk menusuk iga,
namun aku telah bersiap-siap hendak pergi ke sekolah. Mungkin bagi kebanyakan
orang, waktu ini masih terasa awal untuk berangkat sekolah, tapi tidak bagiku.
Aku sekarang harus mengejar waktu jika aku tak ingin terlambat. Kali ini, aku
tak boleh terlambat, aku tak ingin melewatkan kesempatan yang selalu aku
tunggu. Aku pun bergegas menuruni anak tangga rumahku. Namun, belum selesai aku
menuruni tangga, telah kudengar suara mesin mobil. Aku pun segera berlari
sekencang mungkin keluar rumah. Namun terlambat, mobil itu kini tlah melaju pergi.
Segera kukayuh sepedaku sekencang mungkin dan berharap dapat mengejar mobil
yang tlah melaju sejak tadi.
Telah hampir separuh jalan tlah kulewati, tapi
tetap tak dapat kutemukan jejak mobil itu. Kembali kutertunduk sedih. Hari ini,
seperti hari-hari biasanya. Lagi-lagi aku tak dapat mencium tangan ayah sebelum
berangkat sekolah. Aku tak tahu mengapa ayah berangkat kerja begitu awal.
Awalnya aku pikir karena ada pasien darurat yang menunggu ayah di rumah sakit
untuk meminta pertolongan medis. Tapi, hari-hari berikutnya ayah juga tetap
selalu berangkat pagi. Apakah mungkin setiap hari selalu ada saja pasien
darurat? Kupikir tidak, berarti ada alasan lain yang membuat ayah selalu
berangkat kerja pagi-pagi sekali. Aku pun tak tahu. Aku sempat berpikir, apakah
mungkin ayah sengaja menghindar dariku? Tapi mengapa? Hari ini, aku usahakan untuk bersiap ke sekolah
begitu awal, hanya untuk mencium tangan ayah dan memohon restu agar aku dapat
mengikuti Ujian Sekolah dengan lancar. Tapi tetap saja usahaku sia-sia,
lagi-lagi aku terlambat untuk bertemu dengan ayah.
Aku tak tahu mengapa ayah begitu membenciku. Apakah aku tidak pantas menjadi anaknya? mengapa? Terkadang aku menyesali mengapa harus terlahir ke dunia ini jika nasibku harus sedemikian pahitnya. Aku ingin seperti anak lainnya yang selalu mendapat kasih sayang dari kedua orangtuanya. Bahkan sejak terlahir ke dunia ini pun tak pernah sekalipun kukenal sosok yang bernama ibu, apalagi disayang dan dimanja oleh seseorang yang katanya adalah malaikat pelindung tanpa sayap ini. Kata Bi Minah, ibuku adalah seorang yang cantik dan baik hati. Namun ada sesuatu yang salah pada ibu sehingga membuat banyak orang begitu membencinya, termasuk ayah. Aku tak mengerti mengapa ayah membenci ibu, jika ibu orang yang baik, seharusnya ayah menyayanginya, bukan membencinya. Jangankan untuk mengenang ibu, mendengar nama ibu saja ayah sudah muak. Entahlah akupun tak mengerti, setiap aku ingin bertanya akan hal itu, ayah selalu membentakku dan memandangku penuh kebencian. Aku juga telah mencoba bertanya pada Bi Minah, namun Bi Minah selalu berkata bahwa aku akan mengetahuinya suatu saat kelak.
*****
Hari ini, sama seperti biasanya, hampa tiada
warna. Aku hanya terdiam sendiri di rumah mewah ini. Terkadang orang memandang
takjub padaku, bisa hidup dan tinggal di rumah yang sedemikian mewah layaknya
istana. Tentu saja mereka berpikir di dalamnya aku layaknya seorang putri raja yang
hidupnya bergelimang harta. Mengapa tidak? Aku adalah putri dari seorang Dokter
Lucki, salah satu dokter terkenal yang memiliki sebuah rumah sakit terbesar di
kotaku. Pastinya aku dapat meminta apapun semauku .Tapi, andaikan saja mereka
tahu, bahwa semua pikiran dan gambaran yang mereka tujukan padaku berbanding
terbalik dengan kehidupan yang aku alami. Aku, walaupun hidup dalam kemewahan
dan gemerlap harta disekelilingku. Tapi, tak pernah sekalipun aku menyentuh
bahkan merasakan kenikmatan itu, tak pernah. Akupun lantas teringat kejadian
beberapa waktu silam.
“Cinta...!!” Ayah menegurku dengan nada meninggi
ketika aku menonton televisi. Akupun sontak terkejut kala mendengar suara ayah
dan seketika aku langsung berdiri menghadap ayah.
“Kamu.. apa tidak ada kerjaan selain membuang
uang? Kamu tahu tidak berapa banyak listrik yang terbuang percuma dengan
menonton televisi? berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan jika pemakaian
listrik terlalu berlebihan? Kamu sanggup membayar biaya pemakaian listrik di
rumah ini?” seru ayah padaku.
“Tapi ayah...”aku mencoba membela diri di depan
ayah. “Cinta hanya....” belum selesai aku berbicara, ayah tiba-tiba memotong
ucapanku.
“Stop, jangan banyak bicara kamu. Kamu itu tidak
pernah berpikir kan betapa susahnya mencari uang. Kamu hanya santai dan
bermalas-malasan di rumah. Tapi tidak heran, tentu saja kamu tidak bisa
berpikir, sama seperti ibu kamu, yang tidak pernah memikirkan apa yang ia
perbuat. Hanya mencari kesenangan semata. Tidak menyangka sifatnya itu juga ada
pada anak perempuannya.”
Kata-kata ayah benar-benar membuat hatiku rapuh. Sesaat
aku tertunduk sedih menahan butiran air mata yang hendak jatuh dari kelopak
mataku. Apakah sedemikian besarnya kesalahan yang telah kuperbuat hingga ayah
berkata seperti itu padaku? Aku sebisa mungkin tlah mencoba untuk tidak
menangis, namun akhirnya air mata ini jatuh jua, mengalir hangat membasahi
pipiku. Segera aku berlari masuk ke kamar dan menumpahkan semua kesedihanku.
Aku menghela nafas panjang kala teringat peristiwa itu. Pikiranku jauh menerawang. Apakah sesungguhnya yang telah terjadi sehingga ayah begitu membenciku. Sesaat aku memejamkan mata, mencoba terlelap dalam
buaian mimpi, dan kembali mencoba menjelajahi jawaban apakah yang dapat
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terus berjejalan di otakku. Namun, belum
sempat aku menemukan jawaban itu, tiba-tiba terdengar suara mobil ayah memasuki
garasi. Perlahan ku mengintip dari tirai jendelaku yang menghadap ke arah teras
rumah, tepat bersebelahan dengan garasi. Kuperhatikan wajah ayah, tampak guratan
kelelahan menghiasi wajahnya. Aku tahu tugas seorang dokter tidaklah mudah.
Dalam sehari tentu selalu saja ada orang yang membutuhkan uluran tangan ayah. Tangan
itu, tangan yang telah menyelamatkan ribuan nyawa manusia, ingin sekali aku menyentuhnya dan menciumnya
sebagai tanda bakti dan kasih sayangku kepada ayah. Dalam setiap shalatku, aku
selalu memanjatkan doa kepada Ya Rabb
agar suatu saat kelak aku dapat menggengam tangan ayah, memeluk tubuhnya
dan merasakan kasih sayang darinya.
Tak
terasa lagi-lagi air mata ini mengalir tenang di pipiku. Butiran bening ini,
ntah kapan kan berhenti mengalir, dan mendekap diam tanpa ada hasrat ingin
jatuh dari pelupuk mataku.
*****
Fajar tlah menyingsing hari. Mentari mulai
tersenyum merona di ufuk timur. Hari ini, ingin kembali kusapa pagi dengan
semangat hendak bertemu ayah. Namun, entah mengapa, pagi ini aku merasa lain
dari biasanya. Badanku hangat, bukan karena pantulan cahaya hangat mentari dari
jendela kamarku, bukan pula karena sel darah putih yang berperang melawan
antigen hingga terjadilah demam. Aku merasa kali ini penyakitku cukup serius bukan
sekedar demam biasa. Entah apa yang terjadi dalam tubuhku.
Sesaat aku hendak bangun, mencoba untuk bangkit
melawan rasa sakitku. Namun usaha itu sia-sia, kepalaku terasa berat bak
menyangga batu berton-ton. Badanku lemah, selemah dedaunan yang pasrah tertiup
angin. Penglihatanku mulai kabur, semua yang ada disekitarku mulai menghilang
dari penglihatanku. Yang kutahu, kulihat Bi Minah muncul di ambang pintu
membawakan sarapan untukku, dan setelah itu semua menjadi gelap. Akupun
terlarut dalam sisi dunia yang hampa dan gelap yang tak bisa kurasakan
kehadirannya.
“Non Cinta
udah sadar?” seru Bi Minah ketika kumembuka mataku.
“Cinta di mana, Bi?”tanyaku lemah.
“Non Cinta ada di klinik Permata Indah. Dari
kemarin non Cinta tidak sadarkan diri. Bibi khawatir sekali sama non.”cemas Bi Minah.
Kuperhatikan jarum infus merekat di tanganku. Bau obat-obatan mulai
masuk menusuk hidungku membuat asam lambung dalam tubuhku bergejolak. Aku
hendak bangun namun Bi Minah melarangku. Akupun tak dapat berbuat apa-apa
kecuali menuruti Bi Minah karena kondisiku yang memang lemah.
“Non Cinta istirahat saja, ya.. Biar nanti cepat
sembuh.”kata Bi Minah.
“Iya, Bi.. Makasih ya, Bi, udah ngerawat Cinta.” ucapku
sambil tersenyum simpul. Lalu sesaat aku teringat ayah. Tak ada tanda-tanda
akan hadirnya ayah di sini. “Oh iya, Bi.. Ayah di mana?” tanyaku pada Bi Minah.
“Tuan sedang kerja, Non..”
“Apakah ayah pernah datang menjenguk Cinta, Bi?”
“Eh.. Eh.. Belum sih, Non.. mungkin ayah non Cinta
lagi banyak pasien di rumah sakit makanya belum sempat kemari. Tapi bibi yakin
tuan pasti datang menjenguk non Cinta di sini. Non Cinta kan anak Tuan Lucki yang cantik.” hibur
Bi Minah.
Akupun tersenyum. Walaupun aku tahu Bi minah hanya
menghiburku, namun aku terus berharap
ayah ada di sini menemaniku.
*****
Hari ini, akhirnya aku dapat kembali ke rumah, kembali dapat merasakan udara segar yang selama seminggu ini tergantikan oleh bau sesak obat-obatan. Aku masih bingung. Mengapa aku dirawat di klinik ini sementara ayah memiliki rumah
sakit? Apalagi ayah adalah salah satu dokter di sana. Bukankah akan lebih baik
jika ayah sendiri yang mengobatiku. Terlebih lagi jika aku dirawat di rumah
sakit ayah, tentu ayah akan lebih mudah menjengukku meskipun disela-sela
kesibukannya, karena kami berada di rumah sakit yang sama. Tapi mengapa aku
justru berada di klinik ini? Apakah ayah tidak mau mengobatiku? Lalu apakah
guna aku mempunyai ayah seorang dokter? Terkadang aku berpikir, apakah mungkin
ayah ingin menjauh dariku? Apakah ayah tidak ingin mengakuiku sebagai anaknya?
Entahlah, beribu pertanyaan muncul di pikiranku tanpa ada jawaban pasti yang
dapat kutemui.
“Non Cinta udah siap?” tiba-tiba Bi Minah muncul
di ambang pintu.
“Sudah, Bi.”jawabku tersenyum.
“Kalo begitu, ayo kita pulang. Ayah non Cinta
pasti udah menunggu di rumah.” Lagi-lagi Bi Minah menghiburku.
“Iya, Bi.. Cinta juga sudah tak sabar ingin
bertemu ayah.” Aku kembali tersenyum kepada Bi Minah. Aku tahu apa yang
dikatakan Bi Minah tidaklah mungkin terjadi, Namun sebisa mungkin aku juga
mencoba menghibur diri agar tidak terlalu larut dalam kesedihan.
Sebuah
angkot berhenti di depan kami tepat ketika gerimis hujan mulai memayungi seluruh
jagad raya. Aku dan Bi Minah segera naik ke dalam angkot untuk menghindari
pasukan hujan yang hendak menyerang kami. Angin dingin berhembus kencang
menggelitiki bulu romanku. Biasan hujan dari kaca jndela angkot, sedikit
mengenai wajahku hingga membuat aku menggigil kedinginan. Namun aku tak peduli,
yang aku pikirkan sekarang adalah segera pulang ke rumah dan bertemu dengan
ayah. Mungkin saja perkataan Bi Minah benar, ayah sedang menungguku di rumah.
Aku sudah tidak sabar ingin segera bertemu ayah dan berharap kali ini dapat memeluk
tubuhnya dan mendapat kasih sayang darinya.
*****
Angkot
berhenti tepat di depan sebuah rumah berpagar putih yang tinggi menjulang
seolah-olah hendak menutupi kemewahan yang ada di dalamnya. Setelah menyerahkan
selembar uang lima ribuan, aku dan Bi Minah turun dari angkot. Bi Minang
menggotongku masuk ke rumah. Ketika Bi Minah hendak membuka pintu, bersamaan
dengan itu pula lah ayah juga hendak keluar rumah. Sekilas mataku dan ayah
saling bertemu. Aku berharap dapat mendapatkan sebuah kasih sayang dari
pancaran mata ayah yang bening, berharap kepastian bahwa ayah akan mulai
menyayangiku sejak saat ini. Namun apa yang kuharapkan tak kunjung kudapatkan.
Ayah lalu memalingkan muka seolah tak acuh akan kehadiranku.
“Rawat dia, Bi. Jangan sampai membuatku susah.”
ucap ayah singkat.
“Baik, Tuan..” angguk Bi Minah sambil mengajakku
masuk ke dalam rumah. Namun kaki ini tak dapat kugerakkan. Terdiam di sini,
bersama seribu tanda tanya yang terus bergejolak di dadaku. Sebuah tanda tanya besar
tentang ayah. Akupun mencoba memberanikan diri untuk angkat bicara.
“Ayah... Apakah ayah tidak ingin sekali saja
merawat Cinta? Cinta anak ayah, tapi mengapa ayah tidak pernah sama sekali
memperlakukan Cinta layaknya yang dilakukan setiap ayah kepada anaknya?”
Ayah terdiam sejenak. Bi Minah mencoba membawaku
masuk, tapi aku tetap berdiri tegak di sini menanti jawaban apa yang akan
keluar dari mulut ayah.
“Untuk apa? Kamu jangan jadi anak manja. Banyak
pekerjaan yang harus ayah selesaikan selain mengurus kamu. Lagian, sudah ada Bi
Minah yang menjagamu, jadi untuk apa ayah harus turun tangan lagi.”
“Tapi ayah... apakah tidak bisa sekali saja ayah
meluangkan waktu untuk Cinta? Cinta ingin seperti anak lainnya, yang selalu
mendapatkan perhatian dan cinta kasih dari kedua orang tuanya. Tapi sejak lahir
hingga sekarang, tak pernah sekalipun Cinta merasakan kasih sayang dan belaian
halus dan hangat dari tangan ayah maupun ibu. Apakah salah jika Cinta
mengharapkan itu semua?” seruku pada ayah. Aku tak kuasa lagi menyimpan semua
gundah hati yang terus bergejolak tak mau padam. Tak tahan lagi memendam
gejolak hati yang terus meronta-ronta seakan ingin berderu untuk keluar.
“Karena kamu berbeda dari yang lainnya.” tiba-tiba
ayah angkat bicara. “Kamu tidaklah sama seperti anak yang lain. Kamu, ada
alasan yang membuatku takkan pernah sekalipun akan menyayangimu. Andaikan kau
terlahir layaknya seperti anak yang lain, dilahirkan dengan cinta dan penuh
kejelasan, mungkin semua takkan begini jadinya. Tentu aku akan hidup bahagia,
bersama keluarga yang bahagia pula. Meniti kehidupan bersama dengan penuh cinta
tanpa ada sedikitpun rasa kebencian. Tapi semua kini tlah musnah, dan kau ada
di sini semakin menambah bebanku. Jadi, jangan pernah sekalipun meminta sesuatu
dariku, karena yang kau dapatkan adalah nihil.” jelas ayah sembari pergi
meninggalkanku sendiri dengan penuh tanda tanya di hati. Apa maksud perkataan
ayah? Apa yang beda dariku? Kini muncul beragam pertanyaan baru yang semakin
memenuhi memori otakku. Aku harus menemukan semua jawaban atas pertanyaan yang
semakin lama semakin membuatku terpuruk ini.
*****
be continued....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar