Jumat, 16 November 2012

Cerpen ~Miracle~



      Aku terdampar di sini, di sisi gelap diriku.. tersesat dalam waktu yang terus menyeretku meninggalkan sisi terangku. Aku ingin  kembali,  sayangnya waktu tak dapat kuputar ulang.. Namun yang ku tahu, suatu keajaiban akan datang, dan membalikkan segalanya ke posisi awal..
****
“Gita Maharani Reizaldi..” panggil Bu Nina di depan kelas seraya memegang lembaran-lembaran kertas yang berisikan nilai IP mahasiswa-mahasiswanya pada semester ini. Mendengar namanya dipanggil tak ayal membuat si empunya nama pun gugup. Tidak hanya karena takut nilai yang didapat tidak sesuai dengan harapan, tapi juga karena ini merupakan penentuan naik tidaknya ia ke tingkat selanjutnya.


“Selamat! Kamu menjadi mahasiswa dengan nilai tertinggi di kelas ini.”Seru Bu Nina dengan tersenyum. Gita yang mendengar ucapan tersebut, serasa tak percaya dan dengan bangga ia maju ke depan untuk mengambil kertas yang berisi nilai IP nya tersebut. Ucapan selamat pun datang bertubi-tubi dari teman-temannya. Bagaimana tidak, untuk melewati satu semester ini membutuhkan perjuangan yang keras, dan untuk mendapatkan nilai sempurna seperti Gita bukan lah hal yang mudah. Tentu saja teman-temannya kagum dan salut padanya. “Selamat ya, Git.. Kamu itu perfect banget sih, udah cantik, kaya, pintar lagi.” Ujar salah satu temannya memberi ucapan selamat.. Mendengar itu, Gita hanya tersipu malu.  

***
                Sebuah mobil terlihat berhenti di parkiran kampus. Di dalamnya tampak 2 orang yang berusia kira-kira separuh baya sibuk mengamati satu persatu mahasiswa yang keluar dari dalam kampus. Tiba-tiba senyum terkembang di wajah mereka tatkala sosok yang mereka cari telah mereka temukan. Mereka pun tampak melambaikan tangan pada seorang gadis yang baru saja keluar dari dalam kampus tersebut, dan si gadis tersebut dengan setengah berlari masuk ke  mobil tersebut.
“Gimana hasilnya?” Tanya  wanita di dalam mobil tersebut.
“Sukses dong, Bun!!  Siapa dulu.. Gita..”Jawab Gita dengan bangga.  Kedua orang separuh baya tersebut tersenyum mendengar ucapan anak satu-satunya ini.
“Oke, Sebagai hadiah, hari ini ayah dan bunda  akan mengajak kamu liburan ke Bandung.” Seru Ayah Gita. Gita bersorai gembira mendengar perkataan ayahnya tersebut disambut dengan gelak tawa keluarga kecil ini, dan segera mobil mereka pun melaju menuju kota Bandung. Namun mereka tak menyadari saat itu adalah kali terakhirnya mereka dapat tertawa bersama. Di pertengahan jalan mobil mereka tiba-tiba mengalami kerusakan, sehingga ayah Gita kehilangan kendali dan akhirnya nasib mereka pun harus berakhir di sebuah jurang yang amat terjal. 
****
12 September 2012, Pagi itu menjadi pagi yang buruk untuk Gita. Ketika ia terbangun di rumah sakit ia harus mendapat kabar pahit bahwa sejak saat itu ia telah menjadi seorang yatim piatu karena kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan naas itu. Ia hanya bisa diam membatu tatkala ia harus melihat prosesi peguburan jenazah kedua orang tuanya. Teman-teman serta seluruh keluarganya pun mencoba menghiburnya, namun ia hanya tetap diam, menangis pun tak bisa. Hatinya terlalu hancur, bahkan hanya untuk mengumpulkan energi untuk  mengeluarkan air mata pun teramat berat untuknya.
           Kini Gita menjadi seorang yang pemurung dan penyendiri. Ia jarang sekali ikut berkumpul dengan teman-temannya lagi. Baginya, keceriaan dan kebahagiannya telah ikut terkubur bersama-sama dengan jasad orang tuanya. Bahkan para dosen pun ikut mencemaskannya, melihat keadaan nilai dan pelajarannya di kampus menurun drastis. Ia pun jadi suka membolos pelajaran, ntah ke mana ia pergi tak ada satupun temannya yang tahu. Di malam haripun ia jarang sekali ada di rumah. Mbok Inem, pembantu rumahnya pun tak pernah tahu ke mana majikan mudanya ini pergi. Yang ia tahu, Gita selalu pulang di atas jam 12 malam dengan keadaan setengah mabuk. Mbok Inem selalu berusaha untuk membantu dan mengingatkan Gita, namun yang ia dapat hanyalah umpatan dan caci dari Nona nya ini.
              Hari itu baru diketahui ke mana Gita pergi selama ini ketika jam pelajaran. Salah satu temannya di tugaskan oleh seorang dosen untuk berjaga di rumah Gita pagi itu dan mengikuti ke mana Gita pergi. Dari informasi temannya tersebut barulah diketahui bahwa selama ini Gita selalu berkumpul dengan beberapa gerombolan anak nakal yang selalu berbuat kekacauan di area tersebut. Sejak saat itu, Gita menjadi pembicaraan hangat di kampusnya. Namun Gita hanya acuh, baginya di kampus ini, teman, dosen, dan seluruh pelajarannya hanyalah bagaikan angin yang tak pernah dianggapnya ada. Menurutnya semua kesenangan itu hanya bisa ia dapatkan di luar sana  jika ia bersama dengan teman-temannya di pinggiran jalan dan di klub malam itu.

*****
               Malam itu, lagi-lagi Gita menghabiskan waktu di sebuah klub malam. Lampu yang menyala bak hidup segan mati tak mau disertai dengan suara musik yang memekakkan telinga itu sudah menjadi kebiasaaannya akhir-akhir ini. Ia mengenal dunia malam ini saat ia sedang depresi berat akibat ditinggal oleh orangtuanya. Ketika itu ia sedang duduk termenung di sebuah taman dan tiba-tiba seorang gadis cantik dengan ramah menghampirinya. Gadis itu memperkenalkan diri dengan nama Jessica. Merekapun bertukar cerita dan ternyata Jessica juga bernasib sama seperti dirinya. Karena merasa bernasib sama, Gita pun merasa untuk pertama kalinya sejak peristiwa naas itu ia mempunyai seorang teman untuk berbagi. Dari situlah Jessica memperkenalkan Gita dengan dunia malam yang katanya dapat menghilangkan semua jenuh pikiran yang terjebak di otaknya. Gita pun mencobanya dan sejak saat itu ia pun mulai menyukai gemerlap kehidupan malam, minuman keras, dan sesuatu yang tak boleh dan tak akan pernah boleh untuk ia sentuh, Narkoba. Dan sejak saat itu ia pun berkenalan dan menjalin pertemanan dengan beberapan anak berandalan yang notabenenya sama-sama “pemakai”.
           Sudah beberapa gelas minuman beralkohol habis diteguk oleh Gita malam ini. Tiba-tiba datang Jessica menghampiri Gita seraya memberi sebungkus kecil plastik berisi pil yang tak lain adalah sebuah pil ecstasy. Gita meraih pil itu dengan tersenyum dan langsung menelannya seketika itu juga. Tiba-tiba suasana klub malam yang semula penuh dengan hura-hura kesenangan berubah menjadi kepanikan besar tatkala sekelompok polisi memasuki klub tersebut dan merazia mereka. Gita yang sebelumnya tak pernah mengalami hal ini panik tak terbendung. Ia pun mencoba lari bersama Jessica, namun sayang keberuntungan tak berpihak padanya. Ia pun dijaring polisi untuk melakukan pemeriksaan urin.
           Dari hasil pemeriksaan lab, positif lah Gita sebagai tersangka penggunaan narkoba. Ia pun seketika itu ditahan di dalam penjara bersama beberapa tersangka pengguna narkoba lainnya, termasuk Jessica. Tak hanya itu, Kampus Gita yang mengetahui bahwa Gita tersangkut kasus narkoba dengan sigap mengeluarkan surat pernyataan resmi tentang pengeluaran Gita dari kampus tersebut. Untuk kedua kalinya, lagi-lagi Gita merasakan Ujian yang begitu teramat berat baginya, namun kali ini akibat ulahnya sendiri.
*****
                Ruangan berukuran 3 x 4 itu terlihat begitu menakutkan, gelap dan amat terasing, terutama bagi seorang Gita yang sama sekali belum pernah menyentuhkan kaki dengan tempat yang namanya penjara itu. Keadaannya sekilas tampak memprihatinkan, badannya kurus, ntah akibat masalah yang ia hadapi atau karena pengaruh obat-obatan yang pernah ia konsumsi dan baru terasa sekarang efeknya. Wajahnya sayu, kusut dan terlukis lekukan hitam di bagian bawah matanya. Sudah berapa banyak air mata yang keluar dari mata sembab itu. Dari keadaannya tampaklah bahwa ia sangat menderita. Andai waktu bisa berputar ulang ia berkali-kali bersumpah tidak akan pernah melakukan hal-hal gila yang telah menjerumuskan dirinya dalam kubangan hitam seperti ini. Namun sepertinya ia sudah tahu jawaban dari harapannya itu, NOL besar.

*****
              Hari itu terasa begitu cerah, walau panas matahari terasa begitu terik menyengat, namun bagi Gita yang baru saja keluar dari kurungan penjara itu jauh berkali-kali lebih baik dibanding pengapnya ruangan penjara yang hampir 10 bulan ia tempati. Debu-debu jalanan menemani langkahnya yang gontai, tak tahu hendak pergi ke mana. Ia sudah tidak punya keberanian untuk menampakkan diri di lingkungan sekitar rumahnya. Terbayang bisikan-bisikan tak sedap serta umpatan dari tetangga-tetangganya yang memang kebiasaanya suka menggunjingkan keburukan orang. Gita tahu itu, karena dulu setiap pagi sebelum berangkat kuliah ia selalu menyempatkan diri menemani mbok inem membeli sayur di penjual sayur keliling di kompleknya, dan disitulah markasnya para ibu-ibu bergosip ria dengan segudang cerita yang tak pernah ada habisnya untuk digunjingkan. Gita terkadang hanya menjadi penyimak saja sambil sesekali menyahut atau tersenyum simpul jika diminta pendapat dari ibu-ibu itu. Dan sekarang ia membayangkan dirinya lah yang jadi topik hangat pembicaraan di kompleksnya itu. Jadi bagaimana mungkin ia berani menampakkan diri di area kompleks rumahnya itu, ibarat memancing singa keluar dari sarangnya, begitulah pikirnya.
           Sebuah bis antar kota berhenti tepat di depan Gita setelah hampir setengah jam ia menunggu dengan keringat yang bercucuran membasahi dahinya. Sesungguhnya ia masih belum terpikirkan untuk berteduh di mana malam ini, namun baginya yang sekarang paling penting adalah melarikan diri terlebih dahulu dari kota ini, kota yang menjadi saksi berbagai cerita kusam yang tak ingin ia ingat lagi. 
                Gita hampir terlelap di kursinya tatkala tiba-tiba ia merasa ada yang aneh dengan bis yang ia tumpangi. Bis itu tidak berjalan normal layaknya bis biasanya. Tak hanya Gita yang merasakan, tapi juga penumpang lainnya, sehingga tak ayal lagi terdengar teriakan panik serta bisikan kecil sebagian orang yang memanjatkan doa untuk keselamatannya. Mendengar teriakan panik para penumpangnya membuat Supir bis tersebut mencoba untuk memberhentikan bis, namun sayang bis yang oleng tersebut tak menyadari bahwa di depannya terdapat tikungan dan dari arah berlawanan sebuah truk pengangkut pasir sedang melaju dengan kecepatan tinggi hendak berbelok ke arah bis tersebut. Dalam hitungan detik terdengarlah bunyi hantaman keras yang menarik perhatian warga sekitar serta pengguna jalan raya lainnya. Tak lain itu adalah bunyi tabrakan keras antara truk pengangkut pasir tersebut dengan bis yang ditumpangi Gita. Darah segar mengalir di mana-mana, tulang-tulang yang remuk terhimpit tragis di antara remukan dua mobil jumbo itu. Hal tragis itu juga menimpa Gita. Nafasnya tercekat, dadanya sesak akibat ditimpa puing-puing bis yang patah, ia tak mampu bangun, tubuhnya serasa telah remuk bermandikan merahnya darah. Ia tak mampu berkata-kata, hanya buliran air mata yang sanggup ia keluarkan. Sepintas flashback seluruh kejadian yang telah ia alami sekelebat muncul di pikirannya, orang tuanya, prestasinya di kampus, teman-temannya, serta kejadian-kejadian pahit yang ia alami hingga mengantarkannya ke dalam penjara dan di akhiri dengan cerita tragis seperti ini. Ia sekarang pasrah, ia tersenyum, tak lama lagi semua penderitaan ini akan berakhir, dan ia akan berkumpul kembali bersama kedua orangtuanya. Dan ketika seluruh flashback itu terlintas sempurna, dunia menggelap, sepi, dan waktu pun berhenti.
****
            Pagi itu hujan deras mengguyur bumi, dingin pun merasuk hebat ke dalam tubuh, menusuk iga. Dinginnya pagi itu membuat sesosok tubuh yang sudah sekian lama terbaring di ranjang rumah sakit itu bergerak perlahan, membuat selang infus yang tergantung di sebelahnya mengenai seorang wanita separuh baya yang sedari tadi tidur di samping ranjangnya tersebut. Lantas hal itu spontan membuatnya terbangun dan memeriksa keadaan majikannya tersebut.
“Non Gita, Non Gita sudah sadar, Non?” ucap wanita separuh baya tersebut yang tak lain adalah Mbok Inem.
Sosok yang di tanyai tersebut masih dalam keadaan setengah sadar. Matanya perlahan terbuka dan ia mendapati dirinya terbaring lemah dengan mbok Inem yang begitu khawatir di sebelah ranjangnya. Ia masih tak percaya dengan apa yang ia lihat, mungkinkah ini masih di alam bawah sadar?  Melihat ekspresi wajah sang majikan yang bingung, mbok inem pun menjelaskan bahwa majikannya tersebut berada di rumah sakit setelah kejadian kecelakaan naas yang menimpanya dalam perjalanan menuju Bandung. Penjelasan mbok inem tersebut sontak membuat si majikan kaget. Tiba-tiba dari ambang pintu muncul sepasang suami istri separuh baya dengan wajah cemas berlari kecil menghampiri sosok yang terbaring lemah tersebut di susul di belakangnya beberapa orang mahasiswa dan dosen yang turut datang hendak menjenguk.
“Gita, kau tak apa-apa, Nak? Tanya perempuan paruh baya tersebut memeluk tubuh lemah anaknya dengan mata berkaca-kaca.
              Sosok yang terbaring lemah tersebut adalah Gita. Ia bingung dengan keadaan sekarang, mungkinkah kini ia ada di Surga? Sehingga ia bisa bertemu lagi dengan ayah dan ibunya? Sepintas matanya tiba-tiba tertuju pada sebuah kalender duduk yang ada di meja di dekatnya. Tanggal itu semakin membuatnya heran, 12 September 2012. Bukankah tanggal itu adalah tanggal di mana kecelakaan itu merenggut nyawa kedua orang tua nya dan awal dari seluruh kejadian pahit yang ia alami. 
            Gita mencoba memberanikan diri, bertanya tentang apa yang telah terjadi, memastikan keadaannya saat ini yang sedang dihinggapi kebingungan yang amat sangat mendalam. Lantas kedua orangtua menjelaskan keadaan yang telah terjadi, dan dalam cerita tersebut tak ada sama sekali menyangkut kehidupan gelapnya yang sesungguhnya ia alami. Sesaat ia tersadar, Seluruh peristiwa yang ia alami hanyalah bagaikan mimpi, mimpi buruk yang sungguh meninggalkan kesan membekas di hatinya.
           Perlahan seulas senyum simpul tergores di wajah mungilnya. Ia memeluk kedua orangtuanya bagai tak ingin dilepas lagi, dan melepas seluruh kebahagiaan hatinya bersama seluruh yang ada di ruangan tersebut dengan sedikit haru. Kini ia tahu satu hal, tak ada istilah terlambat dalam hidup, bahkan untuk merubah diri di akhir hidup ketika tak ada lagi harapan sekalipun, karena keajaiban itu pasti datang, dan memberi kesempatan kedua untuk memulai kembali proses awal di posisi semula.

*****


Quote : "Jangan menyerah, tak ada istilah terlambat dalam berubah. Bahkan ketika kau sudah tak punya harapan lagi, percayalah setitik keajaiban itu pasti akan datang walau peluangnya hanya sebesar lubang jarum sekalipun." _Anis_



Tidak ada komentar:

Posting Komentar