Sering kali rasanya terdengar kabar-kabar burung yang beredar seputar data yang disajikan BPS adalah kebohongan. Data yang disajikan bohonglah, kurang terpercaya, dan banyak lagi kata-kata tak sedap yang beredar di kalangan masyarakat. Saya sebagai mahasiswa STIS yang nantinya bakal jadi calon pegawai yang kan mengabdi di sana rasanya kabar-kabar itu sungguh tidak enak didengar telinga.
Tidak tahukah mereka tugas BPS itu sungguhlah sulit, dan dalam penyajian data itu tidaklah mudah. Dan ketika hasil jerih payah telah keluar dalam bentuk data, malah di judge seperti itu.
Sangat disayangkan mereka-mereka yang menganggap BPS adalah pembohong, karena mereka tidak tahu betapa mulianya tugas BPS dalam menyediakan data untuk bangsa Indonesia.
Semoga artikel ini bisa membuka pikiran mereka yang ada diluar sana yang masih menganggap bahwa BPS berbohong dalam penyediaan data.
BPS-Badan Pura-pura Statistik?
OPINI | 20 July 2011 | 06:38
Berdasarkan Undang-Undang Statistiik No.16 Tahun 1997, Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi satu-satunya lembaga yang diberi tanggung jawab oleh negara untuk menyelenggarkan kegiatan statistik dasar, yakni statistik yang pemanfaatannya ditujukan untuk keperluan yang bersifat luas, baik bagi pemerintah maupun masyarakat luas, yang memiliki ciri-ciri lintas sektoral, berskala nasional, dan makro.
Statistik dasar diselenggarakan oleh BPS melalui berbagai sensus dan survei. Sensus dilakukan dengan mencacah semua unit populasi di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk memperoleh karakteristik populasi pada saat tertentu. Contoh kegiatan sensus yang dilakukan oleh BPS adalah Sensus Penduduk, Sensus Pertanian, dan Sensus Ekonomi. Adapun survei dilakukan dengan mencacah sampel untuk memperkirakan karakteristik populasi . Contoh kegiatan survei yang secara rutin dilakukan oleh BPS adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), Survei BIaya Hidup (SBH), dll.
Data-data yang dihasilkan oleh BPS dari penyelenggaraan statistik dasar baik melalui sensus maupun survei sebenarnya cukup banyak, namun yang dikenal luas oleh publik hanya sebagian saja. Misalnya, data strategis seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi, nilai ekspor dan impor, tingkat pengangguran, produksi padi, serta jumlah penduduk miskin. Di antara data-data strategis ini, data jumlah penduduk miskin merupakan yang paling berat untuk diumumkan oleh BPS kepada publik, karena seringkali mendapat sorotan tajam serta mungandang polemik dan kontroversi.
Tuduhan di atas sebenarnya muncul karena ketidakpahaman mereka ketika menggunakan data-data BPS, sehingga timbul kesan bahwa seolah-olah terdapat dua angka kemiskinan yang berbeda. Padahal sebenarnya tidaklah demikian, data jumlah penduduk penerima raskin tidak hanya mencakup penduduk miskin, tetapi juga penduduk hampir miskin. Berdasarkan hasil pendataan BPS pada tahun 2008, jumlah rumah tangga sasaran (RTS) yang layak menerima raskin mencapai 17,5 juta. RTS mencakup rumah tangga miskin dan hampir miskin, sehingga dengan asumsi kasar bahwa setiap rumah tangga beranggotakan 4 orang, maka ada sekitar 70 juta orang yang akan menerima raskin. Anda tentu sepakat dengan saya, kalau pemfitnah tidak jauh berbeda dengan pembohong, keduanya adalah setali tiga uang.
Begitu pula ketika mengumumkan jumlah penduduk miskin (1/07/2011) pada Maret 2011 sebesar 30,02 juta orang, yakni mengalami penurunan sebesar 1 juta orang jika dibandingkan dengan Maret 2010 (31,02 juta orang), sebagian orang kembali menghujat BPS karena dinggap tidak realistis dengan kondisi di lapangan serta batas kemiskinan yang digunakan tidak manusiawi. Seperti yang Anda bisa baca pada tautan di Kompas.Com berikut http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/07/01/15055920/Jumlah.Penduduk.Miskin.Turun.1.Juta.
sumber : http://birokrasi.kompasiana.com/2011/07/20/bps-badan-pura-pura-statistik/
Berdasarkan Undang-Undang Statistiik No.16 Tahun 1997, Badan Pusat Statistik (BPS) menjadi satu-satunya lembaga yang diberi tanggung jawab oleh negara untuk menyelenggarkan kegiatan statistik dasar, yakni statistik yang pemanfaatannya ditujukan untuk keperluan yang bersifat luas, baik bagi pemerintah maupun masyarakat luas, yang memiliki ciri-ciri lintas sektoral, berskala nasional, dan makro.
Statistik dasar diselenggarakan oleh BPS melalui berbagai sensus dan survei. Sensus dilakukan dengan mencacah semua unit populasi di seluruh wilayah Republik Indonesia untuk memperoleh karakteristik populasi pada saat tertentu. Contoh kegiatan sensus yang dilakukan oleh BPS adalah Sensus Penduduk, Sensus Pertanian, dan Sensus Ekonomi. Adapun survei dilakukan dengan mencacah sampel untuk memperkirakan karakteristik populasi . Contoh kegiatan survei yang secara rutin dilakukan oleh BPS adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS), Survei BIaya Hidup (SBH), dll.
Data-data yang dihasilkan oleh BPS dari penyelenggaraan statistik dasar baik melalui sensus maupun survei sebenarnya cukup banyak, namun yang dikenal luas oleh publik hanya sebagian saja. Misalnya, data strategis seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi, nilai ekspor dan impor, tingkat pengangguran, produksi padi, serta jumlah penduduk miskin. Di antara data-data strategis ini, data jumlah penduduk miskin merupakan yang paling berat untuk diumumkan oleh BPS kepada publik, karena seringkali mendapat sorotan tajam serta mungandang polemik dan kontroversi.
Bukan Badan Pura-pura Statistik
Terkait data jumlah penduduk miskin, BPS kerap kali dituduh berbohong, sebagai alat pencitraan politik penguasa, penjilat yang memoles
dan merekayasa angka untuk kepentingan penguasa, serta berbagai tuduhan
lain yang terus terang begitu menyayat hati kami para insan BPS yang
telah bekerja begitu keras untuk mempersembahkan statistik yang
berkualitas demi menyokong denyut nadi pembangunan negeri
ini. Apalagi di saat sekarang ini, ketika pemerintah tengah kehilangan
kepercayaan di mata publik, BPS pun ikut terseret di dalamnya.
Anda tentu masih ingat, ketika beberapa waktu yang
lalu, pemerintah dituduh berbohong soal data kemiskinan oleh sejumlah
kalangan−tokoh lintas agama−karena data jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 yang mencapai 31,02 juta orang tidak konsisten dengan data jumlah penduduk penerima beras miskin (raskin) yang mencapai 70 juta orang .
Tuduhan di atas sebenarnya muncul karena ketidakpahaman mereka ketika menggunakan data-data BPS, sehingga timbul kesan bahwa seolah-olah terdapat dua angka kemiskinan yang berbeda. Padahal sebenarnya tidaklah demikian, data jumlah penduduk penerima raskin tidak hanya mencakup penduduk miskin, tetapi juga penduduk hampir miskin. Berdasarkan hasil pendataan BPS pada tahun 2008, jumlah rumah tangga sasaran (RTS) yang layak menerima raskin mencapai 17,5 juta. RTS mencakup rumah tangga miskin dan hampir miskin, sehingga dengan asumsi kasar bahwa setiap rumah tangga beranggotakan 4 orang, maka ada sekitar 70 juta orang yang akan menerima raskin. Anda tentu sepakat dengan saya, kalau pemfitnah tidak jauh berbeda dengan pembohong, keduanya adalah setali tiga uang.
Begitu pula ketika mengumumkan jumlah penduduk miskin (1/07/2011) pada Maret 2011 sebesar 30,02 juta orang, yakni mengalami penurunan sebesar 1 juta orang jika dibandingkan dengan Maret 2010 (31,02 juta orang), sebagian orang kembali menghujat BPS karena dinggap tidak realistis dengan kondisi di lapangan serta batas kemiskinan yang digunakan tidak manusiawi. Seperti yang Anda bisa baca pada tautan di Kompas.Com berikut http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/07/01/15055920/Jumlah.Penduduk.Miskin.Turun.1.Juta.
Sebagai instansi yang diamanahi untuk merekam jejak pembangunan bangsa lewat data, BPS tentu sadar bahwa data kemiskinan sangatlah strategis.
Keberadaannya ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi dapat menjadi
dasar bagi pemerintah untuk mengklaim keberhasilannya dalam menjalankan
roda pembangunan, dan di sisi lain dapat digunakan oleh pihak oposisi
untuk mengkritisi bahkan menyerang kinerja pemerintah. Karena itu, BPS
berupaya memosisikan diri seindependen mungkin. Meskipun sebagai
instansi pemerintah, BPS berusaha memotret kondisi kemiskinan apa
adanya, objektiv, dan tanpa rekayasa. BPS bekerja berdasarkan metodologi
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah serta diterima secara
internasional, Dalam hal ini, BPS bukanlah Badan Pura-pura Statistik.
BPS juga tidak memungkiri kalau masih terdapat kelemahan
pada metodologi yang digunakan ketika menghitung angka kemiskinan. Jika
Anda menginginkan angka kemiskinan yang benar-benar sempurna dan
terlepas dari berbagai kekurangan, maka mintalah angka tersebut dari
langit, karena di dunia ini tak ada satupun metode yang benar-benar
sempurna dalam mengukur kemiskinan (Anda bisa membaca tentang hal ini
dalam tulisan saya yang lain di http://birokrasi.kompasiana.com/2011/07/17/angka-kemiskinan-terbaik-punya-bps/).
Merekayasa angka kemiskinan, mana mungkin?
Penghitungan jumlah penduduk miskin
yang dilakukan oleh BPS di dasarkan pada data Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS). Bank Dunia pada dasarnya juga menggunakan data ini
untuk menghitung angka kemiskinan di Indonesia. Metode yang digunakan
oleh Bank Dunia kurang lebih sama dengan yang digunakan
oleh BPS, yang membedakan keduanya hanyalah batas atau garis kemiskinan
yang digunakan. Karena itu, pergerakan angka kemiskinan hasil
hitung-hitungan Bank Dunia selalu sejalan dengan hasil hitungan BPS.
Jika hasil hitungan BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2011 jumlah
penduduk miskin turun, maka hasil hitungan Bank Dunia juga akan menunjukkan hal yang sama.
SUSENAS bertujuan untuk mendapatkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan mencacah sekitar 68 ribu sampel
rumah tangga yang tersebar di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua.
Survei ini melibatkan puluhan ribu petugas, sementara jumlah pegawai
BPS di seluruh Indonesia hanya 16 ribu orang (1.600 orang
di pusat). Karena itu, survei ini juga melibatkan rekan kerja di luar
BPS yang disebut mitra statistik (ketua RT/RW, mahasiswa, penduduk
setempat, dll) yang telah dilatih terlebih dahulu. Singkatnya, SUSENAS
adalah sebuah proses yang sangat panjang dan melelahkan mulai dari
perencanaan dan persiapan survei, pengumpulan data, pengolahan, sampai
kemudian data clean. Karena itu, teramat sia-sia kiranya
pengorbanan tenaga dan biaya yang begitu besar untuk SUSENAS, jika
ujung-ujungnya data yang dihasilkan kemudian diutak-atik dan direkayasa.
Selain itu, untuk merekayasa data sesuai dengan kemauan sangatlah tidak
mungkin dilakukan, karena itu artinya BPS harus mengarahkan dan
memengaruhi puluhan ribu petugas.
Hal lain yang sering dipersoalkan oleh banyak orang terkait
data jumlah penduduk miskin BPS adalah mengenai garis atau batas
kemiskinan yang digunakan, yang dianggap terlalu kecil dan tidak
realistis. Silahkan saja jika orang berpendapat demikian, tapi yang
perlu diperhatikan di sini bahwa BPS tidak pernah mengutak-atik garis
kemiskinan (GK) agar angka kemiskinan yang dihasilkan sesuai dengan
keinginan pemerintah. Sejak tahun 1998 hingga kini, BPS konsisten
menggunakan motode yang sama dalam menghitung garis kemiskinan. Selama
periode 1998-2011, dengan menggunakan metode penghitungan GK yang sama
tersebut, BPS mencatat secara umum angka kemiskinan terus menurun secara
konsisten, kecuali pada tahun 2006 ketika terjadi kenaikan harga BBM
yang memacu inflasi. Kala itu, BPS mencatat jumlah penduduk miskin naik
sebesar 3,95 juta orang. Jikalau memang BPS benar-benar ABS (asal bapak
senang), tentu BPS akan mengotak-atik GK yang digunakan agar penambahan
jumlah penduduk miskin tidak sebesar itu. Apa lagi kala itu, pemerintah
juga mengucurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT)/cash transfer kepada penduduk miskin dan hampir miskin untuk menjaga daya beli mereka dari gempuran inflasi.
Ketika menghitung angka kemiskinan, BPS sadar ini adalah
pekerjaan yang sangat mulia untuk membantu upaya pengentasan kemiskinan
di negeri yang kita cintai ini. Sungguh saudara-saudara kita yang sedang
terjerat kemiskinan itu tidak begitu perlu dengan angka, tetapi
tindakan nyata dari kita semua. Dan kami telah berbuat sesuatu yang
nyata untuk membantu upaya pengentasan kemiskinan di negeri ini,
meskipun dengan hanya mengahasilkan data mikro dan makro kemiskinan yang
kami yakin begitu berharga bagi upaya mengentaskan saudara-saudara kita
dari jerat kemiskinan. Setidaknya, kami lebih baik dari orang-orang
yang hanya bisa berbicara dan mengkritisi tanpa bisa berbuat sesuatu
yang berarti buat negeri ini.
sumber : http://birokrasi.kompasiana.com/2011/07/20/bps-badan-pura-pura-statistik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar